Indonesia yang tadinya lebih condong ke standar akuntansi keluaran FASB, sejak tahun 1994 sudah mulai melakukan harmonisasi dan lebih mendekatkan diri ke IFRS. Sedianya apabila seluruh negara di dunia ini memakai IFRS, maka semua bisnis di dunia berbicara di dalam bahasa yang sama. Kelak tidak ada lagi kerepotan yang dialami oleh perusahaan multinasional untuk mengkonsolidasi laporan keuangan dari anakanak perusahaan di negara-negara berbeda. Kelak tidak ada lagi perusahaan yang repot jika harus listing di pasar modal negara lain karena harus menyesuaikan laporan keuangannya dengan standar akuntansi setempat.
Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) dari IAI (Ikatan Akuntan Indonesia) telah menetapkan tahun 2008 sebagai target antara dimana perbedaan-perbedaan mendasar antara PSAK dan IFRS sudah tidak ada lagi. Saat ini, DSAK sudah menyiapkan Exposure Draft (ED) dari 4 buah standar yang sudah disesuaikan dengan standar IFRS yang sesuai. Yang paling ditunggu-tunggu oleh para pengamat dan praktisi adalah ED dari PSAK 16 tentang aktiva tetap dan aktiva lainnya.
Di dalam IAS 16, standar internasional memperbolehkan pengukuran aktiva tetap memakai revaluation model (ditahun berikutnya setelah aktiva di nilai berdasarkan nilai perolehannya. Perusahaan-perusahaan di Indonesia dapat menerapkan revalution model (fair value accounting) dalam pencatatan PPE (Property, Plan, and Equipment) mulai tahun 2008 (asumsi bahwa PSAK 16 akan mulai efektif tahun 2008). Hal ini adalah perubahan yang cukup besar karena selama ini revalution model belum dapat
diterapkan di Indonesia dan hanya bisa dilakukan jika ketentuan pemerintah mengijinkan. Apa perbedaan historical cost yang selama ini sudah lebih dikenal oleh dengan revalution model? Revaluation model memperbolehkan PPE dicatat berdasarkan nilai wajarnya. Permasalahannya di Indonesia adalah sistem perpajakan yang tidak mendukung standar ini. Di dalam peraturan perpajakan, revaluasi aset ke atas dikenai pajak final sebesar 10% dan harus dibayar pada tahun tersebut (tidak boleh dicicil dalam 5 tahun misalnya) dan tidak menghasilkan hutang pajak tangguhan yang bisa dibalik di tahun berikutnya
bila nilai aktiva turun. Bayangkan apabila perusahaan memutuskan memakai revalution model dan setiap tahun harga asetnya meningkat, maka setiap tahun harus membayar pajak final. Padahal kenaikan harga aset tersebut tidaklah membawa aliran kas masuk ke dalam perusahaan. Bila aturan perpajakan tidak mendukung, maka dapat dipastikan perusahaan akan enggan menerapkan revaluation model. Bukan hanya sistem pajaknya saja yang memberatkan, bila perusahaan memakai revaluation model, maka siap-siap untuk keluar uang lebih banyak untuk menyewa jasa penilai. Hal ini dikarenakan banyaknya aset tetap yang btidak memiliki nilai pasar sehingga ketergantungan kepada jasa penilai (assessor) akan besar untuk menilai aset-aset ini.
Jika ternyata nilai wajar yang ditetapkan penilai berbeda dengan nilai wajar yang di tetapkan auditor dari akuntan publik, biasanya nilai wajar dari auditor yang akan dipakai. Sistem pencatatan akuntansi juga sedikit lebih rumit daripada memakai historical cost. Ketika perusahaan pertama kali berubah dari historical cost model ke revalution model, maka akumulasi penyusutan di hapus dan beban penyusutan dihitung kembali berdasarkan nilai wajar yang baru. Demikian selanjutnya apabila revaluasi menerbitkan nilai baru, maka beban penyusutan dihitung kembali. Peraturan lain dari IAS 16 adalah bahwa penerapan nilai wajar tidak bisa diterapkan oleh aktiva secara individu tapi harus secara keseluruhan dalam golongan aktiva tersebut.
Akan tetapi, di balik penerapan IFRS ini, begitu pula harmonisasi antara FASB dengan IASB tercium sebuah analisis bahwa, konspirasi politik-ekonomi sedang digalakkan oleh pihak-pihak yang sedang
merumuskan standar yang mereka harapkan dapat berlaku secara global ini. Masih terasa panasnya kontroversi pengesahan Undang-Undang Penanaman Modal oleh pemerintah di negeri tercinta ini, yang ternyata semakin mempermudah penetrasi para penanam modal asing (baca: kapitalis) melakukan misi kotornya, salah satunya dengan mengambil alih perusahaan-perusahaan milik negara tanpa kesulitan yang berarti. Apalagi ini didukung oleh keinginan besar pemerintah untuk semakin melanggengkan privatisasi aset-aset nasional.
Kemudian muncul lagi analisis yang mengerikan terkait dengan penerapan IFRS ini. Dengan semakin mudahnya para calon investor membaca pelaporan keuangan di setiap negara yang telah terstandardisasi, utamanya di negara dunia ketiga, selanjutnya di dukung oleh kemudahan proses administrasi oleh mereka, maka dengan dalih investasi selanjutnya dapat menjadi bom waktu yang siap meluluhlantahkan kekayaan milik rakyat Indonesia.
Dalam PSAK No 16 per September 2007, sebenarnya telah dimasukkan tentang pencatatan PPE berdasarkan revaluasi model akan tetapi prinsip ini belum sepenuhnya dikonvergensikan alias masih bersifat harmonisasi terhadap IAS No 16. Ketakutan terhadap timbulnya kerugian akibat tidak sejalanya antara UU pajak dan IAS No 16 memang patut di analisa. Asumsi bahwa revaluasi model akan mempengaruhi penilaian aset tetap dan lain-lain serta akurasi perhitungan penyusutannya harus benar-benar dikaji agar selisih materialitasnya tidak terlalu jauh dengan menggunakan hirostical cost (harga perolehan). Kemungkinan masalah akan timbul pada saat pencatatan nilai atas Property. Karena kecenderungan nilai Property yang terus meningkat, apabila dinilai dengan revaluasi model maka nilai aset tersbut akan mengikuti nilai wajarnya yang berarti jika nilai asetnya naik maka pencatatan dan perhitungan nilainya akan mengikuti kenaikan tersebut, sehingga akan sulit menentukan nilai penyusutan per periodenya. Hal ini justru berbanding terbailik dengan historical cost (harga perolehan). Dimana nilainya akan selalu konstan yang akan memberikan kaurasi lebih terhadap penilaian penyusutan per periode. Dalam PSAK No 16 per September 2007, sepertinya memberikan dua pilihan kepada manajemen perusahaan dalam menilai PPE, yaitu dapat menggunakan revaluasi model atau historical cost. Saya juga sependapat dengan kendala dibidang regulasi pajak dimana revaluasi aset keatas akan dikenakan pajak final 10% dari nilai aset, apabila nilai asetnya terus meningkat maka terjadi kenaikkan pajak setiap tahunnya, kenaikkan pajak ini justru tidak dibarengi dengan peningkatan pendapatan alias tidak memberikan nilai tambah bagi perusahaan. Jika revaluasi model dapat diterapkan mutlak dalam PSAK No 16, pemerintah harus melakukan penyesuaian dalam regulasi pajaknya agar pengusaha merasa tidak dirugikan.
Untuk masalah harmonisasi terhadap IFRS memang dalam perjalannya terjadi banyak pro dan kontra. Akan tetapi disini kita harus memandang hal ini secara positif. Dimana tujuan standarisasi global hanya untuk memberikan kemudahan dalam dunia usaha dalam menjalankan bisnisnya. Dimana IFRS bertujuan untuk membuat kesamaan dalam prinsip dasar, prosedur, kebijakan, pencatatan, serta penilaian terhadap akuntansi di dalam suatu Negara khususnya dalam menyajikan laporan keuangan. Hal ini mengingat batas dan jarak tidak lagi menjadi kendala dalam bisnis. Dengan adanya standarisasi maka kemudahan dalam melakukan konsolidasi laporan keuangan dan proses investasi akan dapat teralisasi. Isu yang berkembang tentang adanya konspirasi besar dibalik harmonisasi ini dapat dijadikan suatu koreksi bahwa IFRS kelak dapat benar-benar mengakomodasi perkembangan iklim investasi yang saling menguntungkan.