Berbagai
galur Trichoderma memproduksi
berbagai senyawa metabolit sekunder yang bersifat antibakteri, antinematoda,
antifungi, atau antikhamir. Berbagai
antibiotik dan antifungi yang telah diisolasi dari Trichoderma dan Gliocladium
sp. antara lain merupakan senyawa steroid seperti viridiol (Wipf &
Kerekes, 2003), azaphilon (Vinale et al.,
2006), derivat terpenil (Guo et al.,2007),
hingga peptaibol (Duclohier, 2007) dan peptaibiotik (Degenkolb et al., 2008). Selain metabolit sekunder
yang memiliki aktivitas antibiotik, beberapa senyawa turunan gliotoksin yang
dihasilkan oleh Gliocladium roseum, memiliki
kemampuan anti-anggiogenik, sehingga memiliki potensi untuk dikembangkan
sebagai obat anti-rematik arthritis, dan anti-kanker (Lee et al., 2001). Begitu pula,
penelitian terbaru menunjukkan bahwa terdapat jenis peptaibol Trichoderma yang memiliki kemampuan
dikembangkan sebagai obat kanker yang hanya menargetkan sel kanker, dan tidak
menggangu sel normal (Shi et al.,
2010).
Maraknya
perkembangan bakteri patogen yang resisten terhadap antibiotik yang sekarang
ada di pasaran, telah memicu penelitian untuk mendapatkan antibiotik-antibiotik
baru. Golongan peptaibol dan
peptaibiotik merupakan kandidat antibiotik baru yang dianggap penting, sehingga
berbagai laboratorium kini berlomba dalam mengisolasi, memahami struktur dan
bioaktivitasnya. Pentingnya peptaibol dan peptaibiotik tercermin dari
dibangunnya suatu basis data online
khusus untuk golongan senyawa ini (www.cryst.bbk.ac.uk/peptaibol). Hampir
separuh dari 300 peptaibol dalam basis data tersebut bersumber dari genus Trichoderma.
Peptaibiotik
adalah antibiotik peptida non-ribosomal rantai pendek (umumnya kurang dari 20
residu) yang kaya dengan asam amino unik non-proteinogenik, yaitu asam
aminoisobutirat (Aib), dan pada beberapa kasus juga mengandung asam amino
teralkilasi seperti isovalin (Iva), atau asam imino hidroksiprolin. Diversitas
peptaibiotik, selain disebabkan variasi dari asam amino pembentuknya, juga
disebabkan gugus yang terdapat pada ujung C dari peptide tersebut. Peptaibiotik yang juga mengandung gugus
1,2-amino alkohol pada ujung C-nya disebut peptaibol (Krause et al., 2006).
Umumnya
peptaibol yang sudah diteliti menghambat bakteri gram positif, Mycoplasma dan Spiroplasma (Duval et al.,
1997). Trichoderma asperellum T.
N.J63 dan T.N.C52, dan Gliocladium sp. T.N.C73
isolat Riau, juga menghambat pertumbuhan bakteri gram positif, fungi patogen
dan khamir. Penelitian pendahuluan oleh
penulis dengan tim peneliti dari FMIPA, UNRI mengindikasikan bahwa senyawa
anti-bakteri dan anti-khamir ini kemungkinan besar merupakan peptaibol (Nugroho
et al. , 2006; Jasril et al., 2006).
Penelitian
bioaktivitas peptaibol menunjukkan bahwa beberapa peptaibol memiliki
bioaktivitas lain yang tak kalah pentingnya dari aktivitas antibiotik. Sebagai contoh adalah SPF-5506-A4, suatu
peptaibol yang diproduksi Trichoderma sp.
SPF-5506 dapat menginhibisi pembentukkan plak amiloid peptide-beta, sehingga
dapat digunakan untuk menghambat progresifitas penyakit Alzheimer (Hosotani et al.,
2007). Peptaibol dari fungi lain, ada
yang memiliki aktivitas sebagai inhibitor integrase HIV-1,sehingga dapat digunakan sebagai salah satu obat anti-HIV
(AIDS) (Singh et al., 2002). Shi et
al. (2010) menemukan peptaibol produksi Trichoderma
pseudokoningii SMF2 memiliki kemampuan menginhibisi pertumbuhan tumor,
dengan menginduksi apoptosis (bunuh diri) sel kanker hepatoma. Peptaibol ini
tidak mempengaruhi pertumbuhan sel sehat, sehingga cocok untuk dikembangkan
sebagai obat yang menargetkan penghambatan sel kanker secara spesifik. Beragam
aktivitas peptaibol ini dari berbagai fungi biokontrol menunjukkan potensi
strategis untuk pengembangan obat farmasi.
Berbagai galur dari
fungi biokontrol juga digunakan untuk biotransformasi (sintesis) berbagai
senyawa untuk keperluan farmasi dan bahan baku kimia lainnya, baik secara
fermentasi langsung, maupun melalui penggunaan enzimnya. Biotransformasi dewasa
ini merupakan metode yang banyak digunakan oleh ahli kimia, farmasi dan
biokimia untuk menghasilkan berbagai senyawa kimia dan farmasi secara ekonomis
dan ramah lingkungan (Huisman et al.,
2002). Berbagai reaksi kimia yang
umumnya sulit dilakukan secara reaksi kimia organik sintetik klasik
(konvensional), dengan biotransformasi dapat dilakukan dengan relatif mudah dan
ekonomis. Sifat selektif dan proses
biotransformasi yang umumnya dilakukan pada kondisi reaksi lunak (pH dan
temperatur fisiologis sel) meminimalkan pencemaran, dan meminimalkan sintesis
senyawa samping yang tidak dikehendaki. Fungi biokontrol yang dapat digunakan
untuk biotransformasi bukan saja dari genus Trichoderma
dan Gliocladium, tetapi juga dari
berbagai mikroba biokontrol lainnya, misalnya dari genus Beauveria dan Cordyceps.
Seperti telah
disebutkan, biotransformasi dapat dilakukan secara tak langsung dengan
menggunakan enzim yang dihasilkan fungi biokontrol. Noguchi
et al., (2008) menggunakan amilase Trichoderma viride JCM22452, untuk
modifikasi berbagai senyawa bioaktif flavonoid.
Flavonoid adalah senyawa polifenolik yang terdapat pada tanaman. Banyak
dari anggota keluarga flavonoid yang memiliki kemampuan antibakteri, antikanker
dan antioksidan. Salah satu senyawa
flavonoid yang dikenal umum adalah katekin yang terdapat pada teh hijau.
Katekin, selain memiliki sifat antioksidan, juga dapat menghambat karies gigi
(mikroba pembentuk lubang pada gigi), dan membantu pengaturan lipid plasma
darah. Namun, penggunaan Katekin sebagai aditif makanan terbatas, karena
kelarutannya dalam air rendah, mudah terdegradasi dan memiliki rasa pahit. Modifikasi katekin menggunakan amilase Trichoderma viride JCM22452 menghasilkan
beberapa glukosida turunan baru yang memiliki beberapa perbaikan sifat katekin,
yakni berkurang rasa pahit, lebih tahan (stabil) terhadap suhu tinggi, dan memiliki
peningkatan kelarutan dalam air (Noguchi et
al., 2008).
Biotransformasi
secara fermentasi langsung yang telah berhasil dan dilaporkan, lebih banyak
menggunakan spesies Gliocladium daripada
Trichoderma. Berbagai lakton
sesquiterpen memiliki aktivitas biologis, seperti anti-kejang, tetapi juga
memiliki sifat sitotoksik (racun untuk sel) yang kuat. Untuk mengurangi sifat sitotoksik ini,
beberapa peneliti berusaha menggunakan teknik biotransformasi untuk menghidroksilasi
sesquiterpen tersebut. Menggunakan Gliocladium
roseum , Garcia-Granados et al.,
(2002), berhasil memproduksi beberapa turunan suatu lakton sesquiterpen
terhidroksilasi pada posisi yang secara stereokimia akan sulit dilakukan, jika
menggunakan reaksi kimia organik sintetik konvensional. Dong et al., (2007), juga berhasil
menghidroksilasi suatu triterpenoid
menggunakan Gliocladium roseum.
Seperti
telah disebutkan, fungi biokontrol dari genus lain, misalnya dari genus Beauveria, Cordyceps dan Paecilomyces juga menghasilkan berbagai
senyawa antibiotik potensial baru, dan juga digunakan untuk proses
biotransformasi dalam rangka produksi berbagai obat farmaseutikal. Sebagai
contoh, Beauveria bassiana ATCC
13144, yang merupakan fungi biokontrol anti-insekta, digunakan pada proses
biotransformasi untuk menghasilkan turunan obat pengendali tekanan darah, dan
obat pembuluh jantung (kardiovaskular) (Preisig et al.,2003).