Para ilmuwan (Barat) menganggap filsafat sebagai induk dari segala ilmu. Sebab filsafat merupakan tempat berpijak kegiatan keilmuwan (Jujun S. Suriasumanteri, 1990:22). Dengan demikian, psikologi termasuk ilmu cabang dari filsafat. Dalam kaitan ini, psikologi agama dan cabang psikologi lainnya tergolong disiplin ilmu ranting dari filsafat.
Sebaliknya jika psikologi dinilai sebgai disiplin ilmu yang otonom yang kemudian darinya berkembang berbagai disiplin ilmu cabangnya, maka psikologi agama dapat disebut sebagai cabang psikologi. Oleh karena itu, sebutan psikologi agama sebagai ilmu cabang dari psikologi agaknya dapat diterima. Sehubungan dengan hal itu, maka pemahaman psikologi agama dan cabang psikologi seperti yang dimaksud dalam pembahasan berikut adalah menurut pendekatan yang terakhir.
Psikologi secara umum mempelajati gejala-gejala kejiwaan manusia yang berkaitan dengan pikiran (cognisi), perasaan (emotion), dan kehendak (conasi). Gejala tersebut secara umum memiliki ciri-ciri yang hampir sama pada diri manusia dewasa, normal dan beradab. Dengan demikian ketiga gejala pokok tersebut dapat diamati melalui sikap dan perilaku manusia. Namun terkadang ada di antara pernyataan dalam aktivitas yang tampak itu merupakan gejala campuran, sehingga para ahli psikologi menambahnya hingga menjadi empat gejala jiwa utama yang dipelajari psikologi, yaitu pikiran, perasaan, kehendak dan gejala campuran. Adapun yang termasuk gejala campuran ini seperti intelegensi, kelelahan maupun sugesti.
Kemudian dalam perkembangan selanjutnya mulai terungkap bahwa gejala-gejala jiwa tersebut tidak sama pada manusia yang berbeda usia. Gejala jiwa yang melatarbelakangi aktivitas, sikap dan tingkah laku anak-anak berbeda dengan anak remaja, serta juga terdapat perbedaan anatara remaja dengan orang dewasa maupun orang yang sudah lanjut usia. Kenyataan ini mendorong para ahli psikologi untuk mengembangkan cabang-cabang psikologi yang dapat digunakan untuk mempelajari gejala-gejala jiwa manusia pada tingkat usia tertentu. Dari sini timbullah ilmu-ilmu cabang psikologi seperti psikologi anak, psikologi remaja, psikologi orang tua.
Psikologi anak secara umum mempelajari perkembangan kejiwaan pada usia kanak-kanak. Sedangkan setelah anak menginjak usia pubertas hingga menjelang usia dewasa dibahas oleh cabang psikologi yang lain, yaitu psikologi remaja. Demikian pula untuk mempelajari tentang gejala jiwa manusia usia lanjut (manula) dikembangkan pula psikologi khusus sebagai cabang dari psikologi umum.
Selanjutnya dalam kajian-kajian psikologi juga dijumpai berbagai perbedaan antara manusia sudah berbudaya tinggi (berperadaban) dengan manusia yang masih hidup secara sederhana (primitif), maka muncul pula psikologi primitif sebagai cabang berikutnya. Kemudian dalam kaitannya dengan kondisi mental ternyata manusia juga berbeda, sehingga untuk mempelajarinya diperlukan adanya psikologi khusus. Maka muncullah psikologi abnormal dan para psikologi.
Manusia yang memiliki hambatan mental (mental handicapped) dengan tingkat Intellegensi Quotion (IQ) secara umum dikenal dengan sebutan abnormal yang negatif. Sebaliknya yang memiliki IQ di atas normal yang dikenal dengan manusia cerdas (begaf dan genius) cenderung disebut abnormal positif. Namun, di balik itu ditemui pula manusia yang dianugerahi oleh Yang Maha Kuasa kemampuan inderawi yang istimewa. Mereka yang tergolong memiliki indera tambahan ini (indera keenam) dikenal dengan sebutan paranormal. Dalam kaitan ini pula timbul cabang-cabang psikologi abnormal dan para psikologi tersebut.
Setelah lahirnya cabang-cabang psikologi dan kemudian menjadi disiplin ilmu yang otonom, pengembangannya tidak berhenti. Sebagai ilmu terapan, tampaknya psikologi berkaitan erat dengan kehidupan manusia secara pribadi maupun dengan lingkungan sosialnya. Kenyataan ini selanjutnya melahirkan cabang-cabang lagi menjadi psikologi kepribadian dan psikologi sosial.
Di luar itu psikologi pun berkaitan dengan profesi dan pekerjaan. Di antara cabang-cabang psikolgi ini adalah psikologi klinis yang digunakan dalam bidang kedokteran. Kemudian dalam bidang pendidikan juga dikembangkan psikologi pendidikan. Psikologi pendidikan, menurut H. Carl Wetherington adalah suatu studi tentang proses-proses yang terjadi dan untuk memahami serta memberikan petunjuk-petunjuk yang bijaksana kepada proses-proses pendidikan. (M. Buchori, 1992:8).
Psikologi sebagai ilmu terapan (applied science) berkembang sejalan dengan kegunaannya. Dengan demikian, psikololgi yang diakui sebagai disiplin yang mandiri sejak tahun 1879 ini ternyata telah memperlihatkan berbagai sumbangan dalam memecahkan berbagai problema dan menguak misteri hidup manusia serta mengupayakan peningkatan sumber daya manusia (Djamaluddin Ancok, 1994: 1). Barangkali karena alasan-alasan seperti itu maka psikologi kemudian berkembang. Berbagai cabang sesuai dengan kepentingan bidang masing-masing memisahkan diri dari induknya dan kemudian menjadi disiplin yang otonom.
Ternyata seabad setelah psikologi diakui sebagai disiplin ilmu yang otonom, para ahli melihat bahwa psikologi pun memiliki keterkaitan dengan masalah-masalah yang menyangkut kehidupan batin manusia yang paling dalam, yaitu agama. Para ahli psikologi mulai menekuni studi khusus tentang hubungan antara kesadaran agama dan tingkah laku agama. Menurut beberapa temuan dari hasil studi yang dilakukan mereka melihat bahwa kasus-kasus seperti itu dapat dipelajari melalui pendekatan psikologi. Beberapa contoh dari hasil penelitian A. Godin dan Soeur Marthe terhadap pemikiran magis pada anak-anak, kemudian R. Goldman mengadakan studi mengenai perkembangan konseptual dalam pemikiran anak-anak, terlihat memiliki implikasi praktis yang jelas bagi pendidikan agama. Implikasi serupa merupakan salah satu contoh bagaimana bentuk sumbangan pemahaman agama secara psikologis (Robert H. Thouless, 1992:9).
Kajian-kajian yang khusus mengenai agama melalui pendekatan psikologis ini sejak awal-awal abad ke-19 menjadi kian berkembang, sehingga para ahli psikologi yang bersangkutan melalui karya mereka telah membuka lapangan baru dalam kajian psikologi, yaitu psikologi agama. Sebagai mana latar belakang perkembangan cabang-cabang lainnya dari psikologi, maka psikologi agama pun kemudian mulai mendapat perhatian khusus, hingga menjadi disiplin yang otonom dengan nama psikologi agama.
Menurut Robert H. Thouless, selama sekitar tiga puluh hingga empat puluh tahun terakhir ini jumlah penelitian terhadap permasalahan khusus dalam psikologi agama sudah banyak sekali (Robert H. Thouless: 10). Pernyataan ini setidak-tidaknya menginformasikan, bahwa sebagai cabang dari psikologi, maka psikologi agama dianggap semakin penting dalam mengkaji tingkah laku agama.