B. PENJELASAN PARADIGMA/PERSPEKTIF
Pengertian paradigma menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diantaranya: 1. paradigma adalah daftar semua bentukan dari sebuah kata yang memperlihatkan konjugasi (penggabungan inti) dan deklinasi (perbedaan kategori) dari kata tersebut.; 2. paradigma adalah model dari teori ilmu pengetahuan; 3. paradigma adalah kerangka berfikir.
Menurut kamus komunikasi (1989) definisi paradigma adalah pola yang meliputi sejumlah unsur, yang berkaitan secara fungsional untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
Secara umum perspektif adalah sudut pandang dan cara pandang kita terhadap sesuatu. Perspektif yang digunakan dalam menghampiri suatu peristiwa komunikasi akan menghasilkan perbedaan yang besar dalam jawaban, dan makna yang dideduksi. Perspektif selalu mendahului observasi kita.
Pemahaman terhadap paradigma dan perspektif yang kini menjadi acuan dalam teori komunikasi modern diilhami oleh tradisi proses informasi dan sibernatika (Wiener, 1948 dalam West-Turner, 2008: 54-55), dimana, teori komunikasi itu berawal dari perspektif pemrosesan informasi sehingga menjadi paradigma.
Menurut Robert Fredrichs, seperti yang dikutip oleh Anwar Arifin (1995: 35) dalam Wiryanto (2004: 10) mendefinisikan paradigma adalah pandangan yang mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi subject matter yang semestinya dipelajari.
C. PENJELASAN PARADIGMA KONSTRUKTIVISME DAN
PARADIGMA KRITIKAL
Menurut kamus komunikasi (1989: 72) definisi Konstruksi adalah suatu konsep, yakni abstraksi sebagai generalisasi dari hal-hal yang khusus, yang dapat diamati dan diukur.
Paradigma konstruktivisme adalah dapat ditelusuri dari pemikiran Weber yang menjadi ciri khas bahwa prilaku manusia secara fundamental berbeda dengan prilaku alam. Manusia bertindak sebagai agen dalam bertindak mengkunstuksi realias sosial. Cara konstruksi yang dilakukan kepada cara memahami atau memberikan makna terhadap prilaku mereka sendiri. Weber melihat bahwa individu yang memberikan pengaruh pada masyarakat tetapi dengan beberapa catatan, bahwa tindakan sosial individu berhubungan dengan rasionalitas. Tindakan sosial yang dimaksudkan oleh Weber berupa tindakan yang nyata-nyata diarahkan kepada orang lain. Juga dapat berupa tindakan yang bersifat “membatin”, atau bersifat subjektif yang mengklaim terjadi karena pengaruh positif dari situasi tertentu. (Sani. 2007: 1).
Paradigma kritikal lahir melalui salah satu aliran pemikiran kiri baru yang cukup terkenal yaitu pemikiran Sekolah Frankfurt atau dengan nama lain Institut penelitian sosial di Frankfurt (Institut für Sozialforschung) yang didirikan pada tahun 1923 oleh seorang kapitalis yang bernama Herman Weil, Weil merupakan seorang sodagar pedagang gandum, yang pada saat mendekati akhir hayatnya “mencoba untuk cuci dosa” dengan mendirikan sekolah Frankfrut ini, dengan tujuan membantu masyarakat untuk mengurangi penderitaan di dunia (termasuk dalam skala mikro: penderitaan sosial dari kerakusan kapitalisme).
Sekolah kritikal yang merupakan nama lain dari sekolah Frankfrut dan juga nama lain dari institut penelitian sosial di Frankfrut, mengkombinasikan intelektual marxisme dan teori Freudian, dimana masing-masing definisi istilah sekolah memiliki anggota inti seperti yang terdapat dalam Figur 1 (Roger, 1994: 108-109).
(Menurut Horkheimer dalam Everett M. Roger, 1994), Sekolah kritikal yang menjadi salah satu sifat dasar dari teori kritis adalah selalu curiga dan mempertanyakan kondisi status quo di masyarakat dewasa ini. Karena kondisi masyarakat yang kelihatannya produktif dan bagus yang tampak dipermukaan tersebut sesungguhnya terselubung struktur masyarakat yang menindas dan menipu kesadaran khalayak.
Pendekatan Teori Kritis tidak bersifat kontemplatif atau spektulatif murni, dan menurut sekolah kritikal, teori kritis itu umumnya anti-positivist dan banyak yang berorientasi pada filosofi (Roger, 1994: 123). Hal serupa juga dikemukakan oleh Habermas, Profesor filosofi dari Universitas Frankfrut, dimana Habermas menolak positivist dan hal-hal yang mengutamakan materialisme. Habermas menginginkan komunikasi itu sebagai bentuk emansipatoris dan bebas dari eksploitasi (Roger, 1994: 124).
Paradigma teori kritis, dimana teori ini memiliki ide suatu teori atas ketidakadilan yang terjadi dibalik fenomena sosial. Teori kritis banyak diilhami oleh ajaran Marxis atau neo-Marxis (kiri baru). Dalam teori kritis, perilaku orang akan mengubah makna konteks yang terkandung selanjutnya. Teori kritis bersifat aktif dalam menciptakan makna, bukan hanya sekedar pasif menerima makna atas dasar perannya pada teori konflik (Ardianto. 2007: 82).
Komunikasi, terutama melalui bantuan media memainkan peranan khusus dalam mempengaruhi suatu budaya tertentu melalui penyebaran informasi. Media dapat menampilkan suatu cara untuk memandang kenyataan, atau menentukan kebenaran dan kesalahan suatu peristiwa. Media tetap saja dianggap didominasi oleh ideologi kepentingan pihak yang berkuasa yang ada di balik media tersebut, karena semua ideologi itu berusaha memanipulasi kenyataan yang ada atau realitas sosial yang ada di masyarakat (Ardianto. 2007: 85).
D. IMPLIKASI DALAM ILMU/TEORI DAN METODOLOGI
Implikasi dalam paradigma konstruktivisme menerangkan bahwa pengetahuan itu tidak lepas dari subjek yang sedang mencoba belajar untuk mengerti. Menurut Ardianto (2007: 154) Konstruksivisme merupakan salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah hasil konstruksi (bentukan) kita sendiri [Von Glasersfeld dalam Bettencourt (1989) dan Matthews (1994)].
Implikasi dari paradigma konstruktivisme digambarkan dengan komunikasi yang berbasis pada “konsep diri” berdasarkan teori Bernstein. Menurut Ardianto (2007: 159) Teori Bernstein menyatakan bahwa individu dalam melakukan sesuatu dikonstruksikan oleh orientasi kehidupannya sendiri (atau disebut juga orientasi subjek), dimana individu yang berbasis subjek akan menggunakan elaborasi kode yang menghargai kecenderungan, perasaan, kepentingan, dan sudut pandang orang lain.
Menurut Ardianto (2007: 161) Prinsip dasar konstruktivisme menerangkan bahwa tindakan seseorang ditentukan oleh konstruk diri sekaligus juga konstruk lingkungan luar dari perspektif diri. Sehingga komunikasi itu dapat dirumuskan, dimana ditentukan oleh diri di tengah pengaruh lingkungan luar. Pada titik ini kita dapat mengemukakan teori Ron Herre mengenai perbedaan antara person dan self. Person adalah diri yang terlibat dalam lingkup publik, pada dirinya terdapat atribut sosial budaya masyarakatnya, sedangkan Self adalah diri yang ditentukan oleh pemikiran khasnya di tengah sejumlah pengaruh sosial budaya masyarakatnya.
Implikasi paradigma konstruktivisme tidak dapat dipisahkan dari tiga logika dasar desain pesan, yaitu ekspresif, konvensional, dan retoris [O’Keefe dan Shepherd, 1987 dalam Ardianto (2007: 164)]. Logika ekspresif dimana memperlakukan komunikasi sebagai suatu model ekspresif diri, memiliki sifat pesan yang terbuka, reaktif secara alami, dan sedikit memperhatikan yang menjadi keinginan orang lain (contoh: dapat ditemukan saat kita sedang marah). Logika konvensional dimana memandang komunikasi sebagai permainan yang dilakukan secara teratur, komunikasi biasanya dilakukan berdasarkan norma, kesopanan, atau aturan yang diterima bersama, sehingga komunikasi berlangsung secara sopan, dan tertib, serta terkadang mengandung bentuk-bentuk jebakan kesopanan (seperti: “tolong”, “silahkan/please”, dll). Logika retoris dimana memandang komunikasi sebagai suatu cara mengubah aturan melalui negosiasi, pesannya biasa dirancang fleksibel, berwawasan, dan berpusat pada orang.
Berikut ini merupakan penjelasan ontologi, epistemologi, dan metodologis dalam konstruktivisme. Ontologi : relativisme, semesta yang kita ketahui itu bersifat spesifik, lokal yang dikonstruksi oleh paradigma tertentu oleh kerangka konseptual tertentu atau perspektif tertentu. Epistemologi : bersifat transaksional, dialogis, teori konstruksi sebagai hasil investigasi dan proses sosial (khususnya ilmu pengetahuan sosial budaya). Metodologis : hermeneutik dan dialektis, ilmu hasil konstruksi atau interaksi peneliti terhadap objek yang ditelitinya.
Implikasi dalam paradigma kritikal menerangkan bahwa teori kritis berangkat dari fenomena atau realitas sosial yang ada berdasarkan idealisme. Implikasi kritikal dapat di lihat dalam Cultural Studies (studi tentang budaya), dan studi tentang feminisme. Tujuan penelitian dengan pendekatan kritis sosial, emansipasi, transformatif, dan penguatan sosial. Pada paradigma ini posisi peneliti yaitu menempatkan diri sebagai aktivis, advokat, dan transformasi intelektual. Nilai, etika, pilihan moral bahkan keberpihakan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari analisis. Cara penelitian adalah subjektif, dimana titik perhatian analisis justru terdapat pada penafsiran subjektif peneliti atas teks. Partisipasif yaitu mengutamakan analisis komprehensif, kontekstual, dan multilevel analisis yang bisa dilakukan melalui penempatan diri sebagai aktivis atau partisipan dalam transformasi sosial Kriteria kualitas penelitian pada paradigma kritikal yaitu Historical Situadness, sejauh mana penelitian mamperhatikan konteks historis, sosial budaya, ekonomi, dan politik dari teks media (Ardianto. 2007: 177).
E. KAJIAN TERHADAP KASUS AKTUAL
Kajian kasus aktual Konstruktivisme adalah mengambil contoh “SBY VS JK”, dimana awalnya dua tokoh nasional ini dalam menjalankan kepemimpinannya cukup harmonis, dan dapat kita nilai cukup memberi contoh kepada masyarakat tentang kekuasaan bersama. Namun kebersamaan itu terciderai dengan adanya pernyataan dari wakil ketua umum Partai Demokrat, Ahmad Mubarok yang mengatakan bahwa, Golkar seharusnya sudah bisa merasa puas dengan raihan suara 2,5 % untuk bisa mencalonkan diri sebagai presiden dalam aturan Parlementary threshold. Hal ini awalnya sudah bisa dibilang “selesai” dengan sikap tanggap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dirumahnya di daerah Cikeas, Bogor yang mengklarifikasi ucapan tersebut dan mengatakan Golkar merupakan teman dari Demokrat.
Disinilah media memainkan peran dan mengkonstruksi berita ini, dan menambah frekuensi pemberitaan di hampir semua media elektronik dan cetak. Dan melebih-lebihkan pemberitaan untuk mengambil kesan “dramatis” dan bertujuan untuk mengembangkan ucapan tersebut dalam opini publik. Media dapat dikatakan berhasil dengan terlihatnya, SBY dan JK kini memutuskan “jalan masing-masing” maju di pemilihan presiden 2009-2014. disinilah terlihat bahwa media mampu mengkonstruksi suatu melalui pemberitaannya, yang mana akhirnya berkembang menjadi opini publik. Tapi satu hal yang mungkin terlupa, bahwa ada kalangan dominant di balik media tersebut (kaum elit) yang memiliki kepentingan atas pemberitaan dari media yang mereka miliki.
Kajian kasus aktual terhadap kritikal adalah mengambil contoh “politikus bajing loncat”. Seperti yang dikutip majalah Sabili no. 19 edisi 9 April 2009, menurut Direktur Eksekutif Gerbang Informasi Pemerintahan (GIP) Miqdat Husein, hamper semua partai saat ini, termasuk partai-partai islam telah terjebak dalam pragmatisme. Para elit politik tidak memberi contoh yang baik kepada masyarakat, mereka hanya berfikir soal kepentingan dan kekuasaan. Akhirnya yang berlaku adalah idiom politik, dimana kepentingan menjadi alasan utama yang abadi.
Sebagai contoh, banyak cendikiawan seperti diantaranya Andi Malarangeng pun tidak kuat menahan godaan kekuasaan. Dirinya berfikir bahwa, tidak ada manfaatnya jika cendikiawan hanya bisa berteriak-teriak saja, beda halnya jika menjadi bagian dari suatu partai politik dimana kekuasaan aspirasi politik yang diusung tidak hanya sebatas wacana. Melalui partai politik, aspirasi kekuasaan dapat diwujudkan untuk mencapai kekuasaan. Contoh lainnya adalah Budiman Sujadmiko, seorang anak muda yang berhaluan kiri, kini bergabung dengan PDIP, Pius Lustrilanang merapat ke partai Gerindra, dan Dita Indah Sari bergabung di PBR, serta banyak lagi yang mengalami perpindahan partai.
Pengamat politik Bima Arya Sugiarto mengingatkan, seharusnya elit politik yang memutuskan untuk berpindah partai karena alasan-alasan ideologi, bukan terdorong oleh suaru pragmatisme, karena jika hal itu terjadi sikap itu tidak lagi menunjukkan elit politik yang memperjuangkan aspirasi rakyat. Banyaknya ”Politikus Bajing Loncat” kian menegaskan bahwa, motivasi elit politik bukan lagi sekedar mengabdi sebagai wakil rakyat, namun semata-mata untuk mengejar kekuasaan.
F. KRITIK TERHADAP PARADIGMA KONSTRUKTIVISME DAN
PARADIGMA KRITIKAL
Kritik terhadap paradigma konstruktivisme, dimana kalangan konstruktivisme meyakini bahwa segala sesuatu yang ada karena konstruksi tertentu. Ilmu hasil konstruksi berdasarkan interaksi peneliti terhadap objek yang ditelitinya. Kritiknya adalah konstruktivisme kurang sensitif pada proses produksi, dan reproduksi makna yang terjadi secara historis maupun institusional.
Kritik terhadap teori kritis dimana, masyarakat sebagai bagian dari sistem dominasi, dan media sebagai suatu sistem dominasi masyarakat, bukan sebagai kelompok yang bebas nilai, namun didominasi oleh kelompok elit dibelakangnya. Media dimanfaatkan kelompok elit dominan, sehingga penyajian berita tidak lagi mencerminkan refleksi dari realitas sosial. Kedudukan media ataupun peneliti tidak independen, namun dikuasai oleh banyak kepentingan kelompok elit dominan sebagai hasil penelitian. Media menampilkan cara-cara dalam memandang suatu realitas, karena media dikuasai oleh unsur kepentingan ideologi kelompok dominan yang berkuasa, yang pada akhirnya hasil pemberitaan atas kenyataan atau realitas sosial bisa dimanipulasi. Paradigma kritikal dalam mengkritisi sesuatu, menstigmakan suatu realitas sosial kadang terkesan dogmatis daripada ilmiah, hal ini dilandasi pemahaman ideologis tadi.
G. KESIMPULAN
Kesimpulan kami terhadap teori konstruktivisme dimana, kata kunci paradigma konstruktivisme adalah pendekatan antar pesona, melalui komunikasi yang berbasis pada “konsep diri”. Paradigma ini dalam membangun (mengkonstruksi) pemahaman atau makna, secara bersama-sama melalui pemahaman berbasis pada subjek, dengan menggunakan elaborasi kode yang mana, menghargai perasaan, kepntingan, dan sudut pandang orang lain.
Kata kunci untuk paradigma kritikal adalah idealisme, dimana teori kritis selalu curiga dan mempertanyakan kondisi ”status quo” di masyarakat. Teori kritis memandang bahwa realitas sosial yang tampak baik dipermukaan adalah sesuatu yang semu, karena setiap realitas yang ada, terdapat unsur kepentingan kaum dominan dibelakangnya, dan pada akhirnya bertujuan untuk memanipulasi kenyataan yang ada pada realitas sosial di masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU DAN KAMUS:
Ardianto, Elvinaro dan Bambang Q-Anees. 2007. Filsafat Ilmu Komunikasi.
Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Effendy, Onong Uchjana. 1989. Kamus Komunikasi. Bandung: Mandar
Maju, hlm 264.
Kam. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi ke-3 – Cetakan 1.
Jakarta: Balai Pustaka, hlm 828.
Rogers, Everett. M. 1994. A History of Communication Study: A
Biographical Approach. New York:The Free Press.
West, Richard dan Lynn H. Turner. 2008. Pengantar teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi. Buku 1 edisi ke-3. Terjemahan. Maria Natalia
Damayanti Maer. Jakarta: Salemba Humanika.
Wiryanto. 2004. Pengantar Ilmu Komunikasi. Cetakan ke-3. Jakarta: PT.
Grasindo-Gramedia Widiasarana Indonesia.
SUMBER INTERNET:
Hidayat, Dedy Nur. 2004. Menghindari Kriteria kualitas yang Monolitik dan Totaliter. Pengantar Jurnal Thesis, September – Desember 2004. melalui http://72.14.235.132/search?q=cache:_UHGE631U3gJ: www.digilib.ui.ac.id/file%3Ffile%3Ddigital/113870-TJPI-III-3-Sept Des2004VII.pdf+MENGHINDARI+QUALITY+CRITERIA+YANG+MONOLITIK+DAN+TOTALITER,+pengantar+jurnal+thesis,+september-desember+2004&cd=1&hl=id&ct=clnk&gl=id&lr=lang_id.html
Sani, M. Abdul Halim. 2007. Teori-Teori Sosial; Dari Ilmu Sosial Sekuleristik Menuju Ilmu Sosial Intergralistik. WordPress.com-weblog. Melalui http://abdulhalimsani.wordpress.com/2007/09/06/ teori-teori_sosial;Dari_Ilmu_Sosial_Sekuleristik_Menuju_Ilmu_ Sosial_Intergralistik /html[09/06/2007]