Pendidikan untuk anak yang berkebutuhan khusus telah dicantumkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam kebijakan tersebut memberi warna baru bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus. Ditegaskan dalam pasal 15 tentang pendidikan khusus disebutkan bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Pasal inilah yang memungkinkan terobosan bentuk pelayanan pendidikan bagi anak berkelainan berupa penyelenggaraan pendidikan inklusif. Secara lebih operasional, hal ini diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Nomor Tahun tentang Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus.
Menurut Dirjen PLB (2006) pendidikan inklusif merupakan system penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua pesert didik dari berbagai kondisi dan latar belakang untuk mengikuti pendidikan dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama, dengan layanan pendidikan yang disesuaikan kebutuhan dan kemampuan peserta didik.
Menurut Stainback (1990) Sekolah Inklusif adalah Sekolah yang menampung semua siswa di kelas yang sama. Kemudian Staub dan Peck (1995) mengemukakan bahwa Pendidikan Inklusif adalah Penempatan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) tingkat ringan, sedang dan berat, secara penuh di kelas reguler. Sedangkan Sapon-Shevin (O’ Neil 1995) menyatakan bahwa Pendidikan inklusif sebagai sistem layanan pendidikan yang mempersyaratkan agar ABK dilayani di sekolah-sekolah terdekat, di kelas reguler bersama-sama teman seusianya.
Sekolah Inklusif (di Indonesia) adalah sekolah biasa (SB) yang mengakomodasi semua peserta didik baik anak normal maupun anak berkebutuhan khusus (cacat fisik, intelektual, sosial, emosional, mental, cerdas, berbakat istimewa daerah terpencil/ terbelakang, suku terasing, korban bencana alam/ bencana sosial/ miskin), mempunyai perbedaan pangkat, warna kulit, gender, suku bangsa, ras, bahasa, budaya, agama, tempat tinggal, kelompok politik, anak kembar, yatim, yatim piatu, anak pedesaan, anak kota, anak terlantar, tuna wisma, anak terbuang, anak yang terlibat dalam sistem pengadilan remaja, anak terkena daerah konflik senjata, anak pengemis, anak terkena dampak narkoba HIV/ AIDS (ODHA), anak nomaden, dll sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya.
Namun untuk masa sekarang, jenjang pendidikan yang disiapkan untuk menerapkan kebijakan sekolah inklusi ini adalah pendidikan sekolah dasar (SD). Dan pendidikan inklusi pada jenjang sekolah dasar diharapkan mampu untuk memecahkan salah satu persoalan dalam penanganan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus atau anak berkelainan. Jadi dapat dikatakan bahwa pendidikan inklusi merupakan solusi pemberian pelayanan pendidikan yang diberikan kepada seluruh anak-anak.
Model Pendidikan Inklusi di Indonesia
Penerapan sistem pembelajaran yang dilakukan pada sekolah inklusi tidak memiliki suatu sistem khusus, proses pembelajaran berjalan layaknya sekolah reguler biasa. Hanya saja lingkungan yang dibangun lebih pada konsep lingkungan yang ramah anak, hal ini dikarenakan agar ABK merasa lebih nyaman dan mampu menyesuaikan diri terhadap lingkungannya dengan baik.
Melihat kodisi dan system pendidikan di Indonesia, model pendidikan inklusi lebih sesuai adalah model yang mengasumsikan bahwa inklusi sama denganmainstreaming (Ahman,1994). Model pendidikan mainstreaming merupakan model yang memadukan antara pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus (Sekolah Luar Biasa) dengan pendidikan reguler. Peserta didik berkebutuhan khusus digabungkan ke dalam kelas reguler hanya untuk beberapa waktu saja
Penempatan anak berkelainan di sekolah inklusi dapat dilakukan dengan berbagai model sebagai berikut :
a. Bentuk kelas reguler penuh
Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) sepanjang hari di kelas reguler dengan menggunakan kurikulum yang sama
b. Bentuk kelas reguler dengan cluster
Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler dalam kelompok khusus
c. Bentuk kelas reguler dengan pull out
Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler namun dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar dengan guru pembimbing khusus
d. Bentuk kelas reguler dengan cluster dan pull out
Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler dalam kelompok khusus, dan dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar bersama dengan guru pembimbing khusus
e. Bentuk kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian
Anak berkelainan belajar di kelas khusus pada sekolah reguler, namun dalam bidang-bidang tertentu dapat belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler
f. Bentuk kelas khusus penuh di sekolah reguler
Anak berkelainan belajar di dalam kelas khusus pada sekolah regular.
Dengan demikian, pendidikan inklusif seperti pada model di atas tidak mengharuskan semua anak berkelainan berada di kelas reguler setiap saat dengan semua mata pelajarannya (inklusi penuh). Hal ini dikarenakan sebagian anak berkelainan dapat berada di kelas khusus atau ruang terapi dengan gradasi kelainannya yang cukup berat. Bahkan bagi anak berkelainan yang gradasi kelainannya berat, mungkin akan lebih banyak waktunya berada di kelas khusus pada sekolah reguler (inklusi lokasi). Kemudian, bagi yang gradasi kelainannya sangat berat, dan tidak memungkinkan di sekolah reguler (sekolah biasa), dapat disalurkan ke sekolah khusus (SLB) atau tempat khusus (rumah sakit).