Perkataan politik berasal dari bahasa Latin politicus dan bahasa Yunani politicos, artinya (sesuatu yang) berhubungan dengan warga negara atau warga kota. Kedua kata itu berasal dari kata polis maknanya kota. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989), pengertian politik sebagai kata benda ada tiga. Jika dikaitkan dengan ilmu artinya (1) pengetahuan mengenai kenegaraan (tentang sistem pemerintahan, dasar-dasar pemerintahan); (2) segala urusan dan tindakan (kebijaksanaan, siasat dan sebagainya) mengenai pemerintahan atau terhadap negara lain; dan (3) kebijakan, cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani suatu masalah). Karena maknanya yang banyak itu, dalam kepustakaan ilmu politik bermacam-macam definisi tentang politik. Keaneka macaman definisi itu, disebabkan karena setiap sarjana ilmu politik hanya melihat satu aspek atau satu unsur politik saja. Menurut Miriam Budiardjo (1993:8,9) ada lima unsur sebagai konsep pokok dalam politik, yaitu (1) negara, (2) kekuasaan, (3) pengambilan keputusan, (4) kebijaksanaan (kebijakan), dan (5) pembagian dan penjatahan nilai-nilai dalam masyarakat. Kelima unsur politik yang dikemukakannya itu berdasarkan definisi politik yang dirumuskannya. la menyatakan bahwa "politik (politics) adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu." Untuk melaksanakan tujuan-tujuan sistem politik itulah diperlukan kelima unsur di atas. Dan, dari definisi yang dikemukakannya, Miriam Budiardjo melihat kegiatan (politik) merupakan inti definisi politik. Rumusan yang berbeda dikemukakan oleh Deliar Noer. Dengan mempergunakan dua pendekatan yakni (1) pendekatan nilai dan (2) pendekatan perilaku, Deliar mengatakan bahwa "politik adalah segala aktivitas atau sikap yang berhubungan dengan kekuasaan dan yang bermaksud untuk mempengaruhi, dengan jalan mengubah atau mempertahankan, suatu macam bentuk atau susunan masyarakat." Dari rumusan ini kelihatan bahwa hakikat politik adalah perilaku manusia baik berapa aktivitas maupun sikap, yang bertujuan mempengaruhi atau mempertahankan tatanan suatu masyarakat dengan mempergunakan kekuasaan (Abd. Muin Salim, 1994:37).
Di dalam Islam, kekuasaan politik kait mengait dengan al-hukm. Perkataan al-hukm dan kata-kata yang terbentuk dari kata tersebut dipergunakan 210 kali dalam Al-Qur'an. Dalam bahasa Indonesia, perkataan al-hukm yang telah dialih-bahasakan menjadi hukum intinya adalah peraturan, undang-undang, patokan atau kaidah, dan keputusan atau vonis (pengadilan).
Di dalam bahasa Arab, kata tersebut yang berpola masdar (kata benda yang diturunkan dari kata kerja) dapat dipergunakan dalam arti perbuatan atau sifat. Dengan demikian, sebagai perbuatan hukum bermakna membuat atau menjalankan keputusan dan sebagai kata sifat kata itu merujuk pada sesuatu yang diputuskan yakni keputusan atau peraturan perundang-undangan seperti dikenal dalam bahasa Indonesia mengenai (sebagian) arti perkataan hukum. Kalau makna perbuatan itu dikaitkan dengan kehidupan masyarakat, arti perbuatan dalam hubungan ini adalah kebijaksanaan (kebijakan) atau pelaksanaan perbuatan sebagai upaya pengaturan masyarakat. Di sini jelas kelihatan hubungan al-hukm dengan konsep atau unsur politik yang telah dikemukakan di atas, dan kaitan kata itu dengan kekuasaan politik. Wujud kekuasaan politik menurut agama dan ajaran Islam adalah sebuah sistem politik yang diselenggarakan berdasarkan dan menurut hukum Allah yang terkandung dalam Al-Qur'an (Abd. Muin Salim, 1994:161,293).
Jika kata hukm yang berasal dari kata kerja hakama yang terdapat dalam surat Al-Qalam (68): 36,39 dan 48 dan kata hukm dalam surat Al-Maidah (5): 50 dan 95 diperhatikan dengan seksama, jelas bahwa arti kata hukm dalam ayat-ayat itu tidak hanya bersandar pada Tuhan, tetapi juga pada manusia. Ini berarti bahwa menurut agama dan ajaran Islam ada dua hukum.
Pertama adalah hukum (yang ditetapkan) Tuhan dan kedua adalah hukum buatan manusia. Hukum buatan manusia harus bersandar dan tidak boleh bertentangan dengan hukum Tuhan yang terdapat dalam Al-Qur'an seperti yang telah disebutkan di atas.
Politik, kekuasaan dan hukum tersebut di atas sangat erat hubungannya dengan manusia. Al-Qur'an memperkenalkan konsep tentang manusia dengan menggunakan istilah-istilah antara lain insan dan basyar. Masing-masing istilah berhubungan dengan dimensi yang berbeda yang dimiliki manusia. Insan menunjuk pada hakikat manusia sebagai makhluk sosial budaya dan ekonomi yaitu makhluk yang memiliki kodrat hidup bermasyarakat dan berpotensi (berkemampuan) mengembangkan kehidupannya dengan mengolah dan memanfaatkan alam lingkungannya menurut pengetahuan yang diperolehnya. Sedangkan basyar berkenaan dengan hakikat manusia sebagai makhluk politik yakni makhluk yang diberi tanggung jawab dan kemampuan untuk mengatur kehidupannya dengan menegakkan hukum-hukum dan ajaran-ajaran agama.
Manusia diciptakan Allah dengan sifat bawaan ketergantungan kepada-Nya di samping sifat-sifat keutamaan, kemampuan jasmani dan rohani yang memungkinkan ia melaksanakan fungsinya sebagai khalifah untuk memakmuran bumi. Namun demikian, perlu dikemukakan bahwa dalam keutamaan manusia itu terdapat pula keterbatasan atau kelemahannya. Karena kelemahanya itu, manusia tidak mampu mempertahankan dirinya kecuali dengan bantuan Allah.
Bentuk bantuan Allah itu terutama berupa agama sebagai pedoman hidup di dunia dalam rangka mencapai kebahagiaan di akhirat nanti. Dengan bantuan-Nya Allah menunjukkan jalan yang harus di tempuh manusia untuk mencapai tujuan hidupnya. Tujuan hidup manusia hanya dapat terwujud jika manusia mampu mengaktualisasikan hakikat keberadaannya sebagai makhluk utama yang bertanggung jawab atas tegaknya hukum Tuhan dalam pembangunan kemakmuran di bumi untuk itu Al-Qur'an yang memuat wahyu Allah, menunjukkan jalan dan harapan yakni (1) agar manusia mewujudkan kehidupan yang sesuai dengan fitrah (sifat asal atau kesucian)nya, (2) mewujudkan kebajikan atau kebaikan dengan menegakkan hukum, (3) memelihara dan memenuhi hak-hak masyarakat dan pribadi, dan pada saat yang sama memelihara diri atau membebaskan diri dari kekejian, kemunkaran dan kesewenang-wenangan. Untuk itu di perlukan sebuah sistem politik sebagai sarana dan wahana (alat untuk mencapai tujuan).
Al-Qur'an tidak menyebutkan dengan tegas bagaimana mewujudkan suatu sistem politik. Di dalam beberapa ayat, Al-Qur'an hanya menyebut bahwa kekuasaan politik hanya dijanjikan (akan diberikan) kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh. Ini berarti bahwa sistem politik menurut agama dan ajaran Islam terkait dengan kedua faktor tersebut. Di sisi lain keberadaan sebuah sistem politik berkaitan pula dengan ruang dan waktu. Ini berarti bahwa sistem politik adalah budaya manusia sehingga keberadaannya tidak dapat dilepaskan dari dimensi kesejarahan. Karena itu pula lahirnya sistem politik Islami harus dihubungkan dengan sebuah peristiwa bersejarah. Yang dimaksud adalah perjanjian atau bai'at keislaman yang menimbulkan satu perikatan berisi pengakuan dan penaklukan diri kepada Islam sebagai agama. Konsekuensi perjanjian tersebut adalah terwujudnya sebuah masyarakat muslim yang dikendalikan oleh kekuasaan yang dipegang oleh Rasul. Dengan demikian, terbentuklah sebuah sistem politik Islami yang pertama dengan fungsi dan struktur yang sederhana dalam masyarakat dan negara kota Medinah. Sistem politik ini terjadi setelah disetujuinya piagam Madinah, yang oleh Hamidullah disebut sebagai konstitusi tertulis pertama dalam sejarah, pada awal dekade ketiga abad VII M (622) atau tahun I H. Dengan piagam itu tegaklah sistem politik Islam dalam sebuah negara. Sementara itu perlu dikemukakan walaupun di atas disebutkan sistem politik Islami berawal dari perikatan, namun, itu tidaklah berarti bahwa teori perjanjian masyarakat yang dikenal dalam kepustakaan ilmu politik sama dengan perjanjian keislaman tersebut di atas. Perjanjian keislaman itu merupakan konsep baru, disamping konsep-konsep yang telah dikenal. Lagi pula sifatnya adalah restrukturisasi atau penataan kambali suatu masyarakat menurut hukum Ilahi.
Apa yang telah dikemukakan di atas mengandung makna kemungkinan adanya sistem politik Islami dalam sebuah negara dan dalam masyarakat non-negara. Yang terakhir ini terlihat dalam sejarah Islam sebelum hijrah. Oleh karena itu, kendatipun wujud ideal (yang dicita-citakan) sebuah sistem politik Islami adalah sebuah negara, tetapi pembicaraan tentang sistem politik Islami dapat terlepas dari konteks (bagian uraian, yang ada hubungannya dengan) kenegaraan yakni konteks kemasyarakatan yang dapat dipandang sebagai sub sistem politik.
Dalam sub sistem politik ini, hukum-hukum Allah dapat ditegakkan meskipun dalam ruang lingkup yang terbatas sesuai dengan kemampuan, sebagai persiapan pembentukan masyarakat mukmin yang siap menjalankan hukum Islam dan ajaran agama. Oleh karena kesiapan masyarakat itu dikaitkan dengan iman dan amal saleh, maka diantara langkah-langkah mendasar yang harus dilakukan adalah pembaharuan dan peningkatan iman dan penggalakkan beramal saleh. Untuk itu diperlukan kajian terhadap Al-Qur'an dan Al-Hadist, pemasyarakatan dan pembudayaan hasil-hasilkajian itu (Abd, Muin Salim, 1994:295,296).
Sebelum mengakhiri pembicaraan mengenai politik ini, perlu dikemukakan bahwa konsep sistem politik Islam adalah konsep politik yang bersifat majemuk. Sebabnya, karena sistem politik Islam lahir dari pemahaman atau penafsiran seseorang terhadap Al-Qur'an berdasarkan kondisi kesejarahan dan konteks persoalan masyarakat para pemikir politik. Namun demikian, adalah naif (tidak masuk akal) kalau ada pendapat yang mengatakan bahwa Islam yang telah membuat sejarah selama lima belas abad tidak mempunyai sistem politik hasil pemikiran para ahlinya. Di dalam kepustakaan dapat dijumpai pemikiran politik yang dikembangkan oleh golongan Khawarij, Syi'ah, Muktazilah. Di kalangan Sunni terdapat juga pemikiran politik baik di zaman klasik maupun di abad pertengahan tentang proses terbentuknya negara, unsur-unsur dan sendi-sendi negara, eksistensi lembaga pemerintahan, pengangkatan kepala negara, syarat-syarat (menjadi) kepala negara, tujuan dan tugas pemerintahan, pemberhentian kepala negara, sumber kekuasaan, bentuk pemerintahan.
Pemikiran politik Islam kontemporer dapat dibaca dalam karya Jamaluddin al-Afghani, Mohammad Abduh, Muhammad Rasyid Rida, Hasan al-Banna, Sayyid Qutub, Muhammad Husein Heikal (J. Suyuthi Pulungan, 1944: X), Abul 'Ala Maududi, H.A. Salim dan Mohammad Natsir di Indonesia), sekadar menyebut beberapa contoh tokoh politik