Robert C, Stampel, Pimpinan General Motors Corporation, dalam Loh (2001:33)menyatakan bahwa revolusi kualitas di seluruh dunia telah secara permanen telah mengubah cara manusia menjalankan usaha. Dulu, kualitas hanya terbatas pada soal-soal teknis, tetapi kini sudah merupakan proses peningkatan yang dinamis, berlangsung terus-menerus, dan melibatkan semua kalangan usaha.
Loh (2001:34) menambahkan bahwa kualitas memiliki sifat kumulatif. Kualitas bukanlah entetis yang berdiri sendiri, melainkan mencakup totalitas dari semua karakteristik suatu produk atau jasa yang membuat produk atau jasa tersebut unggul dan baik. Kualitas menurut ISO (International Organization for Standardization) adalah :
a. Kondisi yang sehat untuk tujuan atau pemakaian;
b. Keselarasan dengan spesifikasi;
c. Kebebasan dari segala kekurangan;
d. Kepuasan pelanggan;
e. Kredibilitas;
f. Kebanggaan memiliki.
Menurut ISO-8402 (Loh, 2001:35), kosa kata kualitas adalah totalitas dari fasilitas dan karakteristik suatu produk atau jasa yang mampu memuaskan kebutuhan, yang tersurat atau tersirat.
Definisi juga diberikan oleh Tjiptono (2004:11) mendefinisikan kualitas sebagai kecocokan untuk pemakaian (fitness for use). Definisi lain yang lebih menekankan kepada orientasi pemenuhan harapan pelanggan. Kualitas adalah perbaikan terus-menerus. Definisi lain dikemukakan oleh taguchi yang menekankan pada kerugian yang harus dibayar oleh konsumen akibat kegagalan suatu produk atau jasa. Kualitas merupakan fungsi dari biaya dimana biaya dapat diturunkan dengan proses perbaikan atau pengurangan variasi dalam produk atau variasi dalam proses.
Kadir (2001:19) menyatakan bahwa kualitas adalah suatu tujuan yang sulit dipahami (elusive goal), sebab harapan dari konsumen akan selalu berubah. Setiap ada standar baru yang baik ditemukan, maka konsumen akan menuntut lagi agar diperoleh lagi standar baru yang lebih baru dan lebih baik lagi. Dalam pandangan ini maka kualitas merupakan suatu proses dan bukan merupakan suatu hasil akhir (continuitas quality improvement).
Tidak ada satupun definisi kualitas yang sempurna. Akan tetapi setidaknya terdapat tiga aspek kunci yang dapat dijadikan patokan untuk dapat memahami definisi yang diantara ketiganya dapat dikombinasikan oleh suatu perusahaan dalam mendefinisikan suatu kualitas jasa. Tjiptono (2004:12) menyatakan bahwa :
a. Karakteristik kualitas yaitu karakteristik output dari suatu proses yang penting bagi pelanggan. Karakteristik ini menuntut pemahaman yang mendalam mengenai pelanggan.
b. Karakteristik kunci kualitas, yaitu kombinasi pemahaman mengenai pelanggan dengan pemahaman mengenai proses. Variabel kunci proses yang dijadikan sebagai kunci yang dapat dimanipulasi atau dapat dikendalikan.
1. Kualitas Pelayanan dalam Tinjauan Strategi Pemasaran
Kotler (2003:436) merumuskan bahwa pemasaran, termasuk dalam hal ini jasa perbankan, harus memiliki tiga strategi yaitu, a) competitive Differentiation, b) Service Quality, dan c) productivity. Implementasi ketiga strategi tersebut dapat dilakukan melalui :
1. Competitive Differentiation
Strategi ini menekankan pada keunggulan harga atau pada tingkat bunga yang bersaing dimana bank akan menetapkan suatu tingkat bunda simpanan atau pinjaman yang lebih unggul dibandingkan dengan bank-bank lai. Untuk mencapai ini maka dibutuhkan tiga strategi sebagai berikut :
a) Strategi dalam penawaran
Strategi ini ditempuh dengan melakukan inovasu produk maupun dalam pelayanan dengan memperbanyak fitur-fitur yang menarik. Misalnya penyebaran ATM, outlet, pengembangan produk tabungan, deposito, kartu kredit, kartu debit, collection, bahkan dengan menetapkan tingkat bunga yang fleksibel sesuai dengan kebutuhan mahasiswa.
b) Diferensiasi dalam penyajian dan pelayanan
Dalam industri perbankan modern, faktor penyajian atau pelayanan sangat menentukan keberhasilan pemasaran. Faktor ini menekankan pada ketatapan dan kecepatan dalam proses transaksi. Ini hanya dapat berhasil jika ditunjang dengan antara lain:
a. SDM yang handal dan professional
b. Penggunaan teknologi sistem informasi yang canggih.
c. Lingkungan fisik yang menarik.
d. Sistem antrian yang baik.
e. Segmentasi dalam pelayanan.
f. Outlet yang menyebar.
g. Call waiting yang rendah.
c) Diferensiasi dalam image
Setiap yang tampil harus memberikan kesan yang unik dan menunjukkan citranya yang spesifik. Hal ini dapat diwujudkan dengan menetapkan suatu symbol, merek atau motto yang menempatkan suatu bank berbeda dengan bank lain. Image di sini tidak saja pada bank itu sendiri juga pada produk atau jasa yang diberikan.
2. Service Quality
Bank akan memenangkan persiangan dengan menjaga konsistensi dalam kualitas dalam kualitas pelayanan yang tinggi. Mahasiswa yang telah menerima pelayanan akan membandingkan apa yang dirasakan dengan apa yang diharapkan. Kotler (2003:438) menegaskan bahwa jika seseorang merasakan pelayanan dibawah harapannya maka pelanggan akan meninggalkan perusahaan itu. Sebaliknya jika ia merasakan bahwa pelayanannya lebih dari yang diharapkan maka ia akan tetap bersikap sebagai pelanggan di tempat.
3. Productivity
Usaha jasa perbankan sebagaimana usaha jasa lainnya senantiasa berada pada tekanan yang besar antara menjaga tingkat biaya yang rendah dan peningkatan produktivitas. Untuk menjaga keseimbangan antara keduanya maka dibutuhkan 7 (tujuh) pendekatan dalam meningkatkan produktivitas yang dikemukakan oleh Kotler (2003:444) yaitu :
a. Bank harus senantiasa menyajikan jasa yang membutuhkan keahlian tinggi. Untuk ini diperlukan tenaga-tenaga terpilih dan terlatih.
b. Bank harus meninggalkan kuantitas dalam pelayanan dengan peningkatan kualitas. Untuk itu dibutuhkan waktu yang tidak bertele-tele untuk setiap mahasiswa mengingat jumlah mahasiswa yang banyak.
c. Bank sebagai industri jasa membutuhkan tambahan instrument dengan mengadopsi standar-standar dalam manajemen produksi. Misalnya dalam antrian, penentuan host network (gerbang data) yang efisien atau lokasi outlet yang mudah dijangkau.
d. Kreasi produk yang menawarkan solusi. Sebagai contoh, penerapan aplikasi phone banking atau internet banking member solusi pada mahasiswa untuk dapat melakukan transaksi dengan bank tanpa perlu ke bank.
e. Desain atau suatu produk atau jasa bank memberikan alternatif benefit yang lain yang menguntungkan. Berbelanja dengan uang tunai misalnya selain merepotkan juga resiko, untuk itu ditawarkan cara belanja yang aman dengan debit card.
f. Memberikan intensif kepada mahasiswa atas jasa yang dikerjakan sendiri oleh mahasiswa. Misalnya setiap memberikan uang tunai melalui ATM akan diberikan intensif Rp. 1000,- bertujuan untuk mengurangi jumlah antrian.
g. Penerapan teknologi bagi perbankan akan meningkatkan produktivitas bagi bank dan memberi kemudahan bagi mahasiswa dalam mengakses transaksi sekaligus mengurangi tenaga kerja perbankan.
Dari apa yang diuraikan di atas, jelas kualitas pelayanan (service quality) merupakan strategi penting dalam pemasaran perbankan.
2. Dimensi Kualitas Pelayanan
Parasuraman (2004:69) mengidentifikasi sepuluh faktor utama yang menentukan kualitas jasa, kesepuluh faktor tersebut meliputi:
1. Reliability, mencakup dua hal pokok, yaitu konsistensi kerja (performance) dan kemampuan untuk dipercaya (dependability). Hal ini berarti bahwa perusahaan memberikan jasanya secara tepat semenjak pertama (right the first time). Selain itu juga berarti menyampaikan jasanya dengan jadwal yang disepakati.
2. Responsiveness, yaitu kemauan atau kesiapan para karyawan untuk memberikan jasa yang dibutuhkan pelanggan.
3. Competence, artinya setiap orang dalam suatu perusahaan memiliki keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan agar dapat memberikan jasa tertentu.
4. Acces, meliputi kemudahan untuk dihubungi dan ditemui. Hal ini berarti lokasi fasilitas jasa mudah dijangkau, waktu menunggu yang tidak terlalu lama, dan saluran komunikasi mudah dihubungi.
5. Courtesy, meliputi sikap sopan santun, respek, perhatian keramahan yang dimiliki para contact personnel (seperti resepsionis, operator telepon, customer service).
6. Communication, artinya dapat memberikan informasi kepada pelanggan dalam bahasa dapat mereka pahami, serta selalu mendengarkan saran dan keluhan pelanggan.
7. Credibility, yaitu sifat jujur dan dapat dipecaya. Kredibilitas mencakup nama perusahaan, reputasi perusahaan, karakteristik pribadi contact personil dan interaksi dengan pelanggan.
8. Security, yaitu perasaan aman dari bahaya, risiko, atau keragu-raguan. Aspek ini meliputi keamanan secara fisik, keamanan keuangan, dan kerahasiaan.
9. Understanding / knowing the Customer, yaitu usaha untuk memahami kebutuhan pelanggan.
10. Tangibles, yaitu fisik dari jasa, bisa berupa fasilitas, peralatan yang digunakan, dan representasi fisik dan jasa.
Dalam perkembangan, Parasuraman menemukan bahwa kesepuluh dimensi yang ada dapat dirangkum menjadi hanya lima dimensi “TERRA” yaitu :
1. Tangibles (bukti fisik), meliputi fasilitas fisik, perlangkapan, pegawai dan saran komunikasi.
2. Empathy (kemampupahaman), meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan komunikasi yang baik, perhatian pribadi dan kemampuan memahami kebutuhan para pelanggan.
3. Reliability (keandalan), yaitu perusahaan dalam memberikan pelayanan karyawannya yang dijanjikan dengan segera, akurat dan memuaskan.
4. Responsiveness (Daya Tanggap), yaitu keinginan perusahaan melalui karyawannya untuk membantu para pelanggan dan memberikan pelayanan dengan tanggap.
5. Assurance (jaminan), meliputi kemampuan, kesopanan, dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki oleh para karyawan, bebas dari bahaya risiko atau keragu-raguan.
3. Kualitas Pelayanan
Menurut Zaithaml dan Bitner (2004:74), kualitas pelayanan ditentukan oleh persepsi konsumen tentang persepsi kualitas pelayanan dalam arti hasil dari suatu proses jasa (outcome process) yang diwujudkan dalam bentuk bagaimana jasa itu diberikan.
Zaithaml dan Bitner (2004:75), menyatakan bahwa kepuasan pelanggan (costumer satisfaction0 dipengaruhi oleh faktor kualitas pelayanan, kualitas produk, harga, faktor situasi dan faktor pribadi / individu pelanggan. Secara visual Zaithaml dan Bitner menggambarkan pengaruh faktor-faktor tersebut sebagaimana dalam Gambar.
|
Gambar Costumer Perception of Quality and Costumer Satisfaction
|
Dalam bisnis jasa, dengan karakteristik yang tidak terwujud (intangibility), bervariasi (variability) dan tidak terpisahkan (inseparability), maka faktor kualitas pelayanan (service quality) menjadi salah satu strategi yang sangat menentukan dalam persaingan. Kualitas pelayanan dalam bisnis jasa hanya dapat diukur melalui persepsi konsumen terhadap kualitas jasa yang diberikan pemberi jasa.
Oliver (2001:55) menyatakan bahwa konstruksi persepsi konsumen terhadap perusahaan jasa, dipengaruhi oleh pengalamannya dalam mengkonsumsi atau menerima pelayanan pada waktu-waktu sebelumnya. Penilaian terhadap kualitas pelayanan tersebut dilahirkan oleh perbandingan antar apa yang seharusnya dilayani dan siapa yang mendapat pelayanan.
Diterima (expectations) sebagaimana yang pernah dirasakan, dengan kinerja kualita pelayanan yang diterimanya (performance) dari perbandingan tersebut maka kualitas pelayanan pada prinsipnya adalah derajat atau tingkatan yang membedakan antara pengalaman menerima suatu pelayanan dibandingkan dengan kualitas yang diterima.
Dalam bisnis jasa, persepsi pelanggan tentang kualitas pelayanan suatu perusahaan menurut Zeithaml dan Bitner (2003,85) dibentuk oleh tiga hal :
1. Service Encounter (Moment of Truth)
Pelanggan mempersiapkan kualitas pelayanan berdasarkan kontak fisik yang dilakukan penyedia jasa (service provider). Kontak fisik ini terdiri atas tiga bentuk a) Remote encounter, yaitu kontak yang terjadi antara pelanggan dengan bukan manusia, tetapi melalui peralatan yang dipersiapkan oleh pemberi jasa. Misalnya, kontak dengan mahasiswa bank dengan ATM, b) phone encounter, yaitu kontak yang terjadi antara pelanggan dengan orang dari penyedia jasa tetapi melalui bantuan alat komunikasi. Misalnya percakapan antara petugas bank dengan mahasiswa melalui telepon (phone banking), c) face to face encounters. Yaitu kontak langsung melalui tatap muka antara petugas pemberi jasa dengan pelanggan.
2. The Evidence of Service
Jasa pada umumnya bersifat tidak terwujud, sehingga baik dengan pelanggan maupun pemberi jasa berusaha mengasosiasikan hubungan transaksi mereka melalui bukti-bukti fisik. Ada tiga faktor yang menentukan dalam persepsi pelanggan berkaitan dengan asosiasi mereka terhadap kualitas jasa yang diberikan oleh pemberi jasa. a) People atau orang / petugas pemberi jasa dalam melakukan interaksi dengan pelanggan. b) Physical evidence, atau bukti-bukti fisik yang mempengaruhi persepsi pelanggan, misalnya ruang pelayanan suasana pelayanan, gedung, tempat parker, atau penggunaan teknologi pelayanan. c) process, yaitu persepsi pelanggan mengenai bagaimana cara kerja perusahaan pemberi jasa, misalnya kebijakan dan peraturan pemberi jasa terhadap pelanggan, aliran operasi, dan aliran informasi yang diberikan kepada pelanggan.
3. Image
Image atau citra adlalah persepsi pelanggan terhadap perusahaan pemberi jasa (corporate image) yang merupakan cerminan dari misi, filisofi, nilai inti dan budaya kerja dari suatu perusahaan (Nicholas Ind, 1997:43) image dalam pemberi jasa, seperti pengalaman, pengetahuan dan teknologi dari pemberi jasa, serta kualitas fungsional yang meliputi perilaku, penampilan, sikap dan kesadaran dalam memberikan pelayanan dari pemberi jasa, citra perusahaan dibentuk melalui komunikasi seperti iklan public relation, citra fisik, atau komunikasi dari mulut ke mulut (word of mouth) yang dikombinasikan dengan pengalaman pelanggan itu sendiri.
Dari yang telah diuraikan dapat dilihat bahwa persepsi tentang kualitas pelayanan dilahirkan oleh suatu penilaian yang menyeluruh (global judgment) berdasarkan pengalaman yang diperoleh konsumen, antara lain pengalaman dalam bentuk kontak jasa melalui service encounters (moment of truth), the evidence service image dan price, kemudian dibandingkan dengan pelayanan yang diterimanya. Pengalaman tersebut menjadi pembanding, yang pada akhirnya menentukan tingkat kepuasan atau ketidakpuasan.
4. Pengukuran Kualitas Pelayanan
Peter (2001:85) menyatakan bahwa terdapat berbagai macam model dalam pengukuran kualitas pelayanan yang meliputi antara lain:
1. Gronroos Perceived Service Quality Model yang dibuat oleh Gronroos. Pendekatan yang dilakukan adalah dengan pengalaman kualitas pelayanan yang diterima (expect quality) dengan pengalaman kualitas pelayanan yang diterima (experienced quality) dan antara kualitas teknis (technical image) pemberi jasa. Citra perusahaan menurut Gronroos sangat sangat mempengaruhi harapan dan pengalaman konsumen sehingga dari keduanya akan melahirkan persepsi kualitas pelayanan secara total.
2. Heskett’s Service Profit Chain Model. Model ini dikembangkan oleh Heskett’s dengan membuat rantai nilai profit. Dalam rantai nilai tersebut dijelaskan bahwa kualitas pelayanan internal (internal quality service) lahir dari karyawan yang puas (employee satisfaction). Karyawan yang puas akan memberi dampak pada ketahanan karyawan (employee retention) dari produktivitas karyawan (employee productivity) yang ada pada gilirannya akan melahirkan kualitas pelayanan external yang baik akan melahirkan kepuasan kepuasan (customer satisfaction), loyalitas konsumen (customer loyalty) dan pada akhirnya meningkatkan penjualan dan profitabilitas.
3. Normann’s Service Management System. Model ini dikembangkan oleh Normann’s yang menyatakan bahwa sesungguhnya jasa itu ditentukan oleh partisipasi dan konsumen. Sistem manajemen pelayanan bertitik tolak pada budaya dan filosofi yang ada dalam perusahaan, dan dipengaruhi oleh segmen pasar, konsep pelayanan, image, dan sistem pemberian jasa.
4. Europen Foundation for Quality Management Model (EFQM Model). Model ini dikembangkan oleh Yayasan Eropa untuk Management mutu dan telah diterima secara internasional. Model ini ditemukan setelah lembaga tersebut melakukan survey terhadap aspek keuangan. Organisasi dan hasil (organization and result) merupakan titik model ini, dimana kualitas mutu ditentukan oleh faktor kepemimpinan (leadership) dalam mengelola sumber daya manusia, strategi dan kebijakan dan sumber daya lain yang dimiliki perusahaan. Proses secara baik terhadap faktor-faktor tersebut akan melahirkan kepuasan kepada karyawan, kepuasan kepada konsumen dan dampak sosial yang berarti, dan merupakan hasil bisnis yang sebenarnya.
5. Service Performance Model (SERPERF Model). Model ini dikembangkan oleh Cronin dan Taylor yang mengukur tingkat kualitas pelayanan berdasarkan apa yang diharapkan oleh konsumen (expectations) dibandingkan dengan ukuran kinerja (performance) yang diberikan oleh perusahaan, dan derajat kepentingan (importance) yang dikehendaki oleh konsumen.
Service Quality Model (SERIQUAL Model). Model ini dikembangkan oleh Parasuraman dan Zeithaml. Pengukuran dalam model ini menggunakan skala perbandingan multidimensional antara harapan (expectations) dengan persepsi tentang kinerja (performance), yaitu menggunakan 21 pertanyaan dengan 5 dimensi kualitas pelayanan untuk mengukur persepsi konsumen. Pengukuran terhadap harapan konsumen (expectations) menggunakan 4 formula yang meliputi : a) Formulasi untuk mengukur keselarasan antara harapan (matching expectations statement with perception statements) b). Formulasi untuk mengukur perbandingan kualitas pelayanan dari perusahaan yang diukur dengan perusahaan lain yang lebih baik (referent expectations formats) c). Formulasi untuk mengkombinasikan pernyataan harapan dengan persepsi (combined expectations statements) d) Formulasi untuk mengukur perbedaan harapan atas kualitas pelayanan yang diinginkan dan kualitas pelayanan yang mencukupi (expectations distinguishing between desired service and adequate service).
Dalam penelitian ini digunakan SERVQUAL Model karena model ini cukup praktis digunakan dan dianggap dapat mewakili berbagai dimensi yang ada dalam setiap kualitas pelayanan jasa perbankan. Model ini juga mampu mengklasifikasi dimensi-dimensi kualitas pelayanan dalam jasa perbankan (meliputi : reliability, responsiveness, assurance, empathy, dan tangibility). Dalam penggunaan model ini ditambahkan satu dimensi khusus yaitu, (keterjangkauan) dalam pelayanan jasa perbankan merupakan faktor yang cukup penting dalam mendekatkan pelayanan kepada mahasiswa.
A. Konsep Kepuasan
1. Sikap dan Kepuasan
Kualitas layanan (service quality) menurut Zeithml dan Bitner (2003 : 1) merupakan salah satu komponen kritis dalam persepsi pelanggan. Dalam bisnis jasa yang murni, kualitas pelayanan merupakan elemen yang dominan dalam penilaian pelanggan.
Untuk memahami mengenai kualitas pelayanan dalam konteks pelanggan, maka terdapat dua aspek penting untuk dipahami, yaitu aspek sikap (attitude) dan aspek kepuasan (satisfaction).
Sikap adalah ekspresi dari perasaan yang terdalam yang menunjukkan kecenderungan apakah seseorang simpatik atau tidak simpatik terhadap suatu obyek, misalnya terhadap merek atau pelayanan.
Kepuasan menurut Oliver (2001:75) adalah tercapainya/ terpenuhinya apa yang diharapkan oleh seseorang terhadap suatu barang atau jasa. Secara teknis, kepuasan sebagai suatu bentuk evaluasi pelanggan atas suatu produk atau jasa yang dapat timbul ketidakpuasan (dissatisfaction) manakala hasil dari suatu produk atau jasa tidak dapat memenuhi kebutuhan (needs) dan harapan (expectations). Selanjutnya akan timbul ketidakpuasan (dissatisfaction) manakala hasil dari suatu atau jasa tidak dapat memenuhi kebutuhan dan harapan pelanggan.
Kedua pengertian tersebut diatas maka tampak adanya perbedaan antara pengertian sikap dan kepuasan. Sikap ternyata lebih menekankan kepada ekspresi berupa perasaan atau tindakan senang atau tidak senang terhadap sesuatu (barang, jasa, merek atau pelayanan), sedangkan kepuasan merupakan ungkapan perasaan seseorang terhadap suatu barang atau jasa, setelah yang bersangkutan melakukan antara apa yang dibutuhkan atau yang diharapkan dengan apa yang diterima. Dengan demikian, jika dihubungkan dengan hubungan transaksi atau pertukaran, maka kepuasan adalah hasil akhir dari sebuah transaksi atau pertukaran antara produsen dengan konsumen.
2. Kepuasan Pelanggan
Kotler (2003:34), menyatakan bahwa sesungguhnya nilai yang diterima pelanggan (costumer delivery value) adalah total atau penjumlahan dari nilai pelanggan (nilai produk, nilai pelayanan, nilai karyawan dan nilai citra) ditambah biaya yang dikeluarkan oleh pelanggan (biaya moneter, biaya waktu biaya tenaga dan biaya psikis). Nilai pelanggan sebagai persepsi dan pelanggan tentang apa yang mereka harapkan melalui produk atau jasa yang diharapkan dapat memenuhi keinginan atau tujuan mereka.
Konsep nilai pelanggan (customer value) sebagaimana tersebut diatas menjadi begitu penting dalam menentukan strategi pemasaran karena saat ini konsumen dihadapkan pada banyak pilihan sehubungan dengan banyaknya produk atau jasa yang dihasilkan. Dalam kaitan itu maka faktor kepuasan pelanggan (customer satisfaction) menjadi elemen penting dalam memberikan atau menambah nilai bagi pelanggan.
Konsep dan teori mengenai kepuasan konsumen (consumer satisfaction) telah berkembang pesat dan telah mampu diklarifikasi atas beberapa pendekatan. Berikut ini akan dikemukakan beberapa teori yang berhubungan dengan kepuasan konsumen.
1. The Expectancy - Disconfirmation Model
Teori ini merupakan teori yang banyak digunakan dalam kajian mengenai kepuasan konsumen yang dikemukakan oleh Gardinal (2002:87) dan sering juga dikenal dengan nama Teori Diskonfirmasi (disconfirmation paradigm) dalam teori ini ditekankan bahwa kepuasan atau ketidakpuasan ditentukan oleh suatu produk atau jasa dibandingkan standar kinerja yang diharapkan. Proses evaluasi itu disebut dengan proses Diskonfirmasi (disconfirmation paradigma).
Perbandingan antara persepsi dengan, kinerja tersebut akan melahirkan tiga kemungkinan. Pertama, jika standar kinerja produk atau jasa sesuai yang diharapkan maka yang terjadi adalah confirmation. Kedua, jika terjadi, standar kinerja di bawah yang diharapkan maka yang terjadi adalah negative disconfirmation, dan. Ketiga standar kinerja melebihi apa yang diharapkan maka yang menjadi positif - disconfirmation.
Kepuasan dan ketidakpuasan adalah respon pelanggan terhadap evaluasi ketidakpuasan (disconfirmation) yang dirasakan antara harapan sebelumnya (atau norma kinerja lainnya) dan kinerja aktual produk setelah pemakaiannya. Dua variabel utama yang menentukan kepuasan konsumen, yaitu harapan (expectations) dan persepsi kinerja (perceived performance) jika persepsi kinerja melebihi harapan maka (confirmation). Sebaliknya jika persepsi kinerja dibawah harapan maka yang terjadi adalah diskonfirmasi.
Uraian diatas terlihat bahwa konsep expectancy - disconfirmation pada dasarnya menekankan bahwa konfirmasi terjadi manakala kinerja barang atau jasa yang diterima cocok dengan standar, sedangkan diskonfirmasi terjadi manakalah kinerja yang diterima tidak sesuai dengan standar Konfirmasi melahirkan ketidakpuasan.
2. Teori Tingkatan Perbandingan
Teori diskonfirmasi menurut beberapa ahli memiliki beberapa kelemahan dengan mengkritik teori ini dengan alasan, teori ini hanya mengasumsikan bahwa faktor utama dari kepuasan konsumen adalah harapan prediktif yang dibentuk oleh perusahaan dan mengabaikan sumber lain dari harapan konsumen, seperti pengalaman masa lalu terhadap produk yang sama. Modifikasi teori diskonfirmasi dengan mengajukan tiga determinan dasar dan tingkatan perbandingan produk, yaitu (1) pengalaman sebelumnya dari konsumen terhadap produk yang serupa (2) situasi yang menimbulkan harapan misalnya Wan, promosi lainnya dan (3) pengalaman konsumen lainnya yang bertindak referensi.
Salah satu pendukung teori tingkatan perbandingan adalah Kadir (2001:55) yang melakukan penelitian terhadap perusahaan manufaktur, jasa dan badan publik di Amerika Serikat. Dari penelitian itu disimpulkan bahwa, keputusan konsumen untuk melakukan pembelian produk atau jasa berasal dari hasil evaluasi konsumen yang berasal dari kebiasaan, keandalan, dan standarnisasi pelayanan. Kepuasan konsumen, menurutnya adalah perbandingan tingkat kepuasan dan usaha yang sejenis. Pada akhirnya kepuasan konsumen menyeluruh diukur berdasarkan pengalaman menyeluruh dari konsumen, harapan yang berhubungan dengan kebiasaan, dan harapannya dengan keandalan produk atau jasa tersebut.
3. Teori Ekuitas
Oliver (2001:85) mengemukakan bahwa teori ini menyatakan seseorang akan merasa puas bila rasio hasil (outcome) yang diperolehnya dibandingkan input dirasakan fair dan adil. Dengan kata lain, bahwa jika apa yang diterima oleh konsumen tidak sesuai dengan apa yang telah dikeluarkan / dikorbankan (outcome dibanding input) maka konsumen akan merasakan ketidakpuasan.
Menyimak teori diatas maka terlihat bahwa teori ini lebih menekankan pada rasio dibandingkan dengan input. Dengan kata lain, teori ini terkesan lebih menitikberatkan pada unsur fungsi benefit, tanpa mempertimbangkan pada unsur lain seperti penghargaan (resped) dan pengakuan (recognition) kebanyakan lebih dominan dibandingkan dengan unsur fungsi produk atau jasa.
4. Teori Atribut
Teori atribut dikembangkan oleh Weiner dalam Tjiptono (2004:158) bahwa ada tiga penyebab yang menentukan keberhasilan atau kegagalan suatu hasil (outcome), sehingga dari padanya dapat ditentukan apakah suatu pembelian memuaskan atau tidak memuaskan. Pertama, faktor stabilitas atau validitas. Apakah faktor penyebabnya bersifat sementara atau permanen. Kedua, locus causality, yaitu apakah faktor penyebabnya berhubungan dengan konsumen (external attribut) atau dari pemberi jasa (internal attribut). Ketiga, controllability apakah penyebab tersebut berada dalam kendali ataukah berasal dari faktor lain yang tidak dapat dipengaruhi.