A. Auguste Comte dan Pitirim Sorokin Serta Masalah Kemajuan Budaya
Semua ahli ilmu sosial sependapat bahwa kiranya tidak mungkin untuk memiliki suatu struktur sosial tanpa suatu tipe kebudayaan (setidaknya seperangkat symbol untuk berkomunikasi), tetapi tidak semua sependapat mengenai pengaruh yang mungkin ada pada nilai-nilai budaya serta ideal-idealnya dalam menentukan sifat struktur sosial itu. Berikut kita akan memperlihatkan konflik itu. Tetapi disini kita akan melihat dengan saksama ide-ide Teori Auguste Comte yang dasar, yang dilihat oleh banyak orang sebagai “Bapak Sosiologi”, yang percaya bahwa sifat dasar suatu organisasi sosial suatu masyarakat sangat tergantung pada pola-polaberpikir yang dominan serta gaya intelektual masyarakat itu. Dalam perspektif Comte, struktur sosial sangat mencerminkan epistemology yang dominan. Sejalan dengan posisi ini, Comte juga percaya bahwa begitu intelek kita bertumbuh dan pengetahuan kita bertambah, masyarakat itu sendiri maju.
1. Riwayat hidup Comte
Auguste Comte lahir di Montpellier, Prancis, tahun 1798. Keluarganya beragama Katolik dan berdarah bangsawan, tetapi Comte tidak memperlihatkan loyalitasnya. Dia mendapat pendidikan di Ecole Polytechnique di Paris dan lama hidup di sana, Comte seorang mahasiswa yang keras kepala dan suka memberontak dalam mendukung Napoleon dipecat.
Comte memulai karier profesionalnya dengan member les dalam bidang matematika. Meskipun ia sudah memperoleh pendidikan dalam matematika, perhatiannya yang sebenarnya adalah pada masalah-masalah kemanusiaan dan sosial. Minat ini mulai berkembang di bawah pengaruh Saint Simon, yang mempekerjakan Comte sebagai sekretarisnya dan dengannya Comte menjalin kerjasama erat dalam mengembangkan karya awalnya sendiri. Kepribadian dua orang ini saling melengkapi, Saint Simon seorang yang aktif, tekun, bersemangat dan tidak disiplin, sedangkan Comte seorang yang metodis, disiplin dan refleksif. Tetapi setelah tujuh tahun, pasangan ini pecah karena perdebatan mengenai kepengarangan karya bersama, dan Comte lalu menolak pemmbimbingnya ini.
Kondisi ekonomi Comte juga pas-pasan saja, dan hamper terus menerus hidup miskin. Dia tidak pernah menjamin posisi professional yang dibayar dengan semestinya dalam system pendidikan tinggi Prancis. Banyak karirnya berupa memberikan les-les privat, menyajikan ide-ide teoritisnya dalam suatu kursus privat yang dibayar oleh peserta-peserta dan menjadi penguji akademi kecil. Di akhir hayatnya, dia hidup dari pemberian orang-orang yang mengaguminya dan pengikut-pengikut agama Humanitasnya.
2. Perspektif Positivistis Comte Tentang Masyarakat
Meskipun Comte yang memberikan istilah “Positivisme”, gagasan yang terkandung dalam kata itu bukan dari dia asalnya. Kaum Positivis percaya bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam dan bahwa mwtode-metode penelitian empiris dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukumnya, sudah tersebar luas di lingkungan intelektual dimana Comte hidup. Tetapi sementara kebanyakan kelompok positivistis berasal dari kalangan orang-orang yang progresif, yang bertekad mencampakkan tradisi-tradisi irasional. Comte percaya bahwa penemuan hukum-hukum alam itu akan membukakan batas-batas yang pasti yang melekat dalam kenyataan sosial, dan melampaui batas-batas itu usaha pembaruan akan merusakkan dan menghasilkan yang sebaliknya.
Comte melihat perkembangan ilmu tentang masyarakat yang bersifat alamiah ini sebagai puncak suatu proses kemajuan intelektual yang logis melalui semua ilmu-ilmu lainnya sudah melewatinya. Kemajuan ini mencakup perkembangan mulai dari bentuk-bentuk pemikiran teologis purba, penjelasan metefisik, dan akhirnya sampia ke terbentuknya hukum-hukum ilkiah yang posituv. Bidang sosiologi adalah paling akhir melewati tahap-tahap ini, karena pokok permasalahannya lebih kompleks daripada yang terdapat dalam ilmu fisika dan biologi.
a. Hukum Tiga Tahap
Hukum tiga tahap merupakan usaha Comte untuk menjelaskan kemajuan Evolusioner umat manusia dari masa primitive ke peradaban Prancis abad kesembilan belas yang sangat maju. Hukum ini, yang mungkin paling terkenal dari gagasan-gagasan teoritis pokok Comte, tidak lagi di terima sebagai suatu penjelasan mengenai perubahan sejarah secara memadai. Juga terlalu luas dan umum sehingga tidak dapat benar-benar tunduk pada pengujian empiris secara teliti, yang menurut Comte harus ada untuk membentuk hukum-hukum Sosiologi.
Singkatnya, hukum itu menyatakan bahwa masyarakat-masyarakat (atau umat manusia) berkembang melelui tiga tahap utama, yaitu :
1. Tahap Theologis, merupakan periode yang paling lama dalam sejarah manusia dan untuk analisa yang lebih terperinci, Comte membaginya ke dalam periode Fetisisme, Politeisme, dan Monoteisme. Fetisisme, bentuk pikiran yang dominan dalam masyarakat primitive, meliputi kepercayaan bahwa semua benda memiliki kelengkapan kekuatan hidupnya sendiri. Akhirnya Fetisisme ini diganti dengan kepercayaan akan sejumlah hal-hal supranatural yang meskipun berbeda dari benda-benda alam, namun terus mengontrol gejala alam. Begitu pikiran manusia terus maju, kepercayaan akan banyak dewa itu diganti dengan kepercayaan akan satu yang tertinggi. Katolisisme di abad pertengahan memperlihatkan puncak tahap monoteisme.
2. Tahap Metafisik, terutama merupakan tahap transisi antara tahap Teologis dan positif. Tahap ini ditandai oleh satu kepercayaan akan hukum-hukum alam yang asasi yang dapat ditemukan dengan akal budi. Protestantisme dan Deisme memperlihatkan penyesuaian yang berturut-turut dari semngat Teologis ke munculnya semangat Metafisik yang mantap.
3. Tahap Positif ditandai oleh kepercayaan akan data empiris sebagai sumber pengetahuan terakhir. Tetapi pengetahuan selalu sementara sifatnya, tidak mutlak. Semangat Positivisme mempelihatkan suatu keterbukaan terus-menerus terhadap data baru atas dasar mana pengetahuan dapat ditinjau kembali dan diperluas. Akal budi penting, seperti dalam periode Metafisik, tetapi harus dipimpin oleh data empiris. Analisa rasional mengenai data empiris akhirnya akan memungkinkan manusia untuk memperoleh hukum0hukum, tetapi hukum-hukum dilihat sebagai uniformitas empiris lebih daripada kemutlakan Metafisik.
b. Agama Humanitas
Wawasan Comte terhadap konsekuensi-konsekuensi Agama yang menguntungkan dan ramalannya mengenai tahap positif Postreligius dalam evolusi manusia menghadapkan dia pada maslah rumit. Tidak seperti pemikir-pemikir radikal dan revolusioner pada masanya, Comte menekankan perhatiannya pada keteraturan sosial. Dia khawatir bahwa anarki intelektual dan sosial di zamannya akan menghancurkan basis untuk kemajuan yang mantap. Begitu dia melihat Sejarah, dia mengakui bahwa agama di masa lampau sudah menjadi satu tunggak keteraturan sosial yang utama. Agama merupakan dasar untuk “Konsensus Universal” dalam masyarakat, dan juga mendorong identifikasi emosional individu dan meningkatkan altruisme. Tetapi jika dilihat dalam perspektif ilmiah, agama didasarkan pada kekeliruan intelektual asasi yang mula-mula sudah berkembang di saat-saat awal perkembangan intelektual manusia.
Dengan agak sederhana, Comte mengemukakan gagasan untuk mengatasi masalah ini dalam tahap kedua dari karirnya, dengan mendirikan suatu agama baru, yaitu Agama Humanitas dan mengangkat dirinya sebagai imam agung. Ini aspek kedua dari perhatian Comte mengenai keteraturan sosial. Aspek pertama meliputi suatu analisa obyektif mengenai sumber-sumber stabilitas dalam masyarakat. Sedangkan aspek kedua meliputi usaha meningkatkan keteraturan sosial dengan agama Humanitas sebagai cita-cita normatifnya.
3. Teori Kemajuan Menurut Comte dan Teori Siklus Perubahan Budaya Menurut Sorokin
Kepercayaan Comte bahwa perkembangan Positivisme akan mengakibatkan kemajuan yang terus menerus, adalah pasti. Teorinya mengandung implikasi bahwa sejarah bergerak ke tujuan akhir, dan bahwa tahap-tahap sejarah sebelumnya penting, terutama karena sumbangannya terhadap tujuan akhir ini. Tahap terakhir akan merupakan suatu masyarakat dimana bimbingan intelektual dan moral yan diberikan oleh imam-imam Sosiologi akan memungkinkan pemompin-pemimpin politik untuk menentukan kebijaksanaan yang menjamin bahwa orang akan hidup secara harmonis dan dimana industriawan yang berperikemanusiaan akan menyediakan alat alat bagi manusia untuk memenuhi kebutuhan materilnya secara mencukupi. Bersama cdengan pemikir-pemikir pencerahan abad kedelapan belas, Comte mengambil model kemajuan linear (garis bujur) ini yang menuju ke satu tujuan akhir.
Untuk mempertentangkan model Comte mengenai kemajuan linear, lain halnya dcengan model perubahan sosio-budaya yang diberikan oleh Sorokin, seorang ahli Sosiologi profetis abad kedua puluh. Pandangan Sorokin mengenai hakikat kenyataan sosial (gambaran dasar mengenai pokok persoalan Sosiologi) sangat erat hubungannya dengan Comte. Keduanya memusatkan perhatiannya pada tingkat analisa budaya, dan keduanya menekankan sangat pentingnya gaya intelektual, cara memandang dunia atau bentuk-bentuk pengenalan pola-pola organisasi sosial serta perilaku manusia.
Kalau Comte mengusulkan suatu model linera yang berkulminasi pada munculnya masyarakat positivis, Sorokin mengembangkan model siklus perubahan sosial. Artinya, dia yakin bahwa tahap-tahap sejarah cenderung berulang dalam kaitannya dengan menttalitas budaya yang dominan, tanpa membayangkan suatu tahap akhir yang final. Tetapi silus-siklus ini tidak sekedar pelipatgandaan saja, sebaliknya ada banyak variasi dalam bentuk-bentuknya yang khusus, dimana tema-tema budaya yang luas dinyatakan.
4. Kebudayaan Materil dan Non Materil
Baik dalam tahap-tahap perkembangan intelektual Comte maupun tipe-tipe mentalitas budaya Sorokin, dunia ide-ide, cara berpikir, atau cara memandang dunia, dilihat sebagai kunci utama untuk memahami struktur sosial dan perilaku individu. Aspek materialistis dari kebudayaan secara implisit ada dalam teori Comte dan Sorokin. Pandangan Comte mengenai transisi dari masyarakat militer ke industry sudah jelas mengandung implikasi perubahan dalam kebudayaan materil. Terutama munculnya industrialisme tergantung pada kemajuan teknologi dan kemajuan dalam teknologi mencerminkan perubahan dalam kebudayaan materil. Sorokin juga menyinggung kemajuan teknologi dan melimpahnya materi secara meningkat yang mungkin dihasilkannya. Dia melihat perkembangan ini sebagai suatu manifestasi mentalitas inderawi. Tetapi Sorokin umumnya memandang kebudayaan materil sebagai wahana perwujudan mentalitas budaya Non materil. Ini berarti bahwa analisa tentang kebudayaan materil bahwa berkisar pada arti-arti budaya yang disimbolkan atau diwujudkan dalam bentuk-bentuk materil. Pendekatan ini cocok untuk memahami karya-karya seni dan arsitektur. Tetapi disamping kenyataan bahwa kebudayaan materil tidak disangkal, Comte dan Sorokin jelas melihatnya sebagai sesuatu yang bergantung pada kebudayaan non materil.
B. Teori Sosial Karl Marx : Struktur Ekonomi, Pertentangan Kelas dan Perubahan Sosial
1. Riwayat Hidup Marx
Marx lahir di Trier, Jerman, di daerah Rhine pada tahun 1818. Ayahnya Heinrich dan Ibunya Henrietta berasal dari keluarga Rabbi Yahudi. Pada usia delapan belas tahun, setelah mempelajari hukum selama setahun di Universitas Bonn, Marx pindah ke Universitas Berlin. Di sana, sebagai akibat dari hubungannya dengan kelompok Hegelian Muda beberapa unsur dasar teori sosialnya mulai di bentuk. Meskipun Hegel sudah mati waktu Marx masuk Universitas Berlin, semangat dan filsafatnya masih menguasai pemikiran filosofis dan sosial di sana.
Karir Marx, tidak dapat dipisahkan dari perkembangan gerakan sosialis dipertengahan abad ke Sembilan belas. Seperti Comte, dia adalah seeorang marginal tetapi dengan alas an yang berlainan. Status marginal Comte berrasal dari berbagai sifat keanehan pribadinya, sifat marginal Marx berhubungan dengan banyak keterlibatannya dalam hal-hal radikal. Mungkin antara lain karena sifat marginalnya ini, Marx merupakan seorang Katalisator untuk tiga orientasi intelektual yang berbeda. Sumbangan Teoritisnya banyak diambil dari (1) metode dialektik Hegel dan historisme Jerman (2) dari teori politik Inggris (3) dari pemikiran sosialis Prancis. Tetapi semua ketiga orientasi ini sangat berubah dalam karya Marx, dan ide-ide sentral Marx, meskipun berulang kali dinyatakan dalam perjalanan hidupnya, memperlihatkan suatu sumbangan kreatif yang penting terhadapa perkembangan sosiologi modern.
2. Materialisme Historis Marx
Materialisme Historis sangat brguna untuk memberinya nama pada asumsi-asumsi dasar mengenai teorinya, dan memberinya suatu pemahaman yang tepat. Dari The Communist dan Das Kapital, secara tradissional sudah diasumsikan bahwa tekanan utama Marx adalah pada kebutuhan materil dan perjuangan kelas sebagai akibat dari usaha-usaha memenuhi kebutuhan-kebutuhan ini. Dalam pandangan ini, ide-ide dan kesadaran manusia tidak lain daripada refleksi yang salah tentang kondisi-kondisi materil. Tambahan pula, perhatian dipusatkan pada usaha Marx untuk meningkatkan suatu revolusi sosialis sedemikian sehingga kaum proletariat dapat menikmati sebagian besar kelimpahan materil yang dihasilkan oleh industrialisme.
3. Infrastruktur Ekonomi dan Superstruktur Sosio-Budaya
Tekanan yang terus menerus dikemukakan dalam semua tulisan Marx adalah bahwa struktur ekonomi masyarakat yaitu alat-alat produksi dan hubungan-hubungan sosial dalam produksi merupakan dasar yang sebenarnya. Semua institusi sosial lainnya didirikan atas dasar ini dan menyesuaiakan diri kurang lebih dengan tuntutan dan persyaratan yang terdapat dalam struktur ekonomi itu.
Kalau Marx berulang-ulang menekankan ketergantungan politik pada struktur ekonomi ini, tipe analisa yang sama juga akan berlaku untuk pendidikan, agama, keluarga dan semua institusi lainnya. Sama halnya dengan kebudayaan suatu masyarakat, termasuk standar-standar moralitasnya, kepercayaan-kepercayaan agama, system-sistem filsafat, ideology politik dan pola-pola sei serta kreativitas sastra, juga mencerminkan pengalaman hidup yan riil dari orang-orang dalam hubungan ekonomi-ekonomi mereka.
4. Kegiatan dan Alienasi
Inti seluruh teori Marx adalah proposisis bahwa kelangsungan hidup manusia serta pemenuhan kebutuhannya bergantung pada kegiatan produktif dimana secara aktif orang terlibat dalam mengubah lingkungan alamnya. Namun, kegiatan produktif itu, mempunyai akibat yang paradox dan ironis, karena begitu individu mencurahkan tenaga kretifnya itu dalam kegiatan produktuf, maka produk-produk dari kegiatan ini memiliki sifat sebagai benda obyektif yang terlepas dari manusia yang membuatnya. Karena kegiatan produktif meliputi penggunaan tenaga manusia dan kemampuan kretifnya, maka produk-produk yang diciptakan itu sebenarnya mewujudkan sebagian dari “hakikat manusia” itu. Jadi, manusia mengkonfrontasikan hakikatnya sendiri dalam bentuk yang sudah terasing atau diasingkan, atau sebagai benda dalam dunia luar yang berada di luar jangkauan pengontrolan mereka, dan malah manusia haru menyesuaikan diri dengannya. Sesudah itu, kebebasan individu untuk terus menuangkan kretivitasnya dan mengembangkan kemampuannyasebagai manusia, sangat dibatasi.
5. Kritik Terhadap Marx
Kritik Marx terhadap masyarakat kapitalis dan ramalannya mengenai pekembangan masa depannya menjadi sasaran banyak kritik. Salah satu kritik yang tidak asing lagi adalah reaksi terhadapa Marxisme sebagai satu ideology politik, bukan sebagai suatu teori Sosiologi atau teori Ekonomi yang obyektif. Namun penggunaan pespektif Marxis sebagai suatu ideology politik dalam negara-negara komunis di abad ke duapuluh merupakan penyimpangan dan terlampau menyederhanakan teori Marx.
C. Emile Durkheim : Mendirikan Sosiologi Sebagai Satu Ilmu tentang Integrasi Sosial
1. Riwayat Hidup Durkheim
Emile Durkheimlahir tahun 1858 di Epinal, suatu perkampungan kecil orang Yahudi di bagian Timur Prancis yang agak terpencil dari masyarakat luas. Ayah Durkheim adalah seorang Rabi. Pada usia 21 tahun, Durkheim diterima di Ecole Normale Superieure. Dua kali sebelumnya dia gagal dalam ujian masuk yang sangat kompetitif, walaupun sebelumnya dia sangat cemerlang dalam studinya. Dia satang ke Paris untuk bias masuk ke sekolah Lycee Louis-Le-Grand, setelah memperoleh dukungan yang kuat dan dorongan dari guru-guru di Epinal.
2. Kenyataan Fakta Sosial
Asumsi paling fundamental yang mendasari pendekatan Durkheim terhadap sosiologi adalah bahwa gejala sosial itu riil dan mempengaruhi kesadaran individu serta perilakunya yang berbeda dari karakteristik psikolgis, biologis atau karakteristik individu lain-lainnya. Lebih lagi, karena gejala sosial merupakan fakta yang riil, gejala-gejala itu dapat dipelajari dengan metode-metode empiric, yang memungkinkan satu ilmu sejati tentang masyarakat dapat dikembangkan. Kedua asumsi ini, kenyataan gejala sosial dan pandangan tentang sosiologi sebagai satu ilmu kelihatan jelas di saat sekarang, khususnya bagi mahasiswa dengan kemampuan yang minimal sekalipun dalam perspektif sosiologi. Namun, ingat bahwa pada masa Durkheim, tidak ada bidang atau metodologi dalam sosiologi yang mantap.
Tekanan Durkheim pada kenyataan gejala sosial yang obyektif itu, bertentangan tidak hanya dengan individualism yang berlebih-lebihan tetapi juga dengan para ahli teori yang pendekatannya terlampau spekulatif dan filosofis. Di masa lampau, spekulasi filosofis sudah merupakan bentuk pemikiran yang utama tentang perilaku manusia dan tentang masyarakat.
Fakta sosial memiliki empat karakteristik, yaitu :
1. Sesuatu yang berwujud di luar individu
2. Melakukan hambatan atau membuat kendala terhadap individu
3. Bersifat luas atau umum
4. Bebas dari manifestasi, atau melampaui menifestasi Individu
3. Solidaritas dan Tipe Struktur Sosial
Dari semua fakta sosial yang ditunjuk dan didiskusikan oleh Durkheim, tak satupun yang sedemikian sentralnya seperti konsep solidaritas sosial. Dalam lain bentuk, solidaritas sosial membawahi semua karya utamanya. Istilah-istilah yang berhubungan erta dengan itu, misalnya integrasi sosial dan kekompakan sosial. Singkatnya, solidaritas menunjuk pada suatu keadaan hubungan antara individu atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama diperkuat oleh pengalaman emosional bersama. Ikatan ini lebih mendasar daripada hubungan kontraktual yang dibuat atas dasar persetujuan rasional, karena hubungan-hubungan serupa ini mengandaikan sekurang-kurangnya satu tungkat / derajat konsesus terhadap prinsip-prinsip moral yang menjadi dasar kontarak itu.
Durkheim menghubungkan jenis solidaritas pada suatu masyarakat tertentu dengan dominasi dari suatu system hukum. Ia menemukan bahwa masyarakat yang memiliki solidaritas mekanis hukum seringkali bersifat Represif : pelaku suatu kejahatan atau perilaku menyimpang akan terkena hukuman dan hal itu akan membalas kesadaran kolektif yang dilanggar oleh kejahatan itu dan hukuman bertindak lebih untuk mempertahankan keutuhan kesadaran. Sebaliknya, dalam masyarakat yang memiliki solidaritas organic, hukum bersifat Restitutif : bertujuan bukan untuk menghukum melainkan untuk memulihkan aktivitas normal dari suatu masyarakat yang kompleks. Jadi,perubahan masyarakat yang cepat karena semakin meningkatnya pembagian kerja menghasilkan suatu kebingungan tentang norma dan semakin meningkatnya sifat yang tidak pribadi dalam kehidupan sosial, yang akhirnya mengakibatkan runtuhnya norma sosial yang mengatur perilaku.
4. Ancaman Terhadap Solidaritas
Membahas mengenai Emile Durkheim yang membahas mengenai fenomena bunuh diri. Bila di lihat sepintas, fenomena ini dapat disebabkan kondisi psikologi suatu individu, yang dapat terjadi beberapa tipe, seperti bunuh diri Egoistik, bunuh diri Anomik, bunuh diri Altruistik, dan bunuh diri Fatalistik.
D. Max Weber dan Masalah Rasionalitas
1. Riwayat Hidup Weber
Max Weber lahir di Erfurt, Thuringia tahun 1864, tetapi di besarkan di Berlin. Keluarganya pindah ketika dia berumur 5 tahun. Keluarganya adalah orang Protestan kelas Menengah atas, sangat termakan oleh Kebudayaan Borjuis.
2. Tipe-Tipe Tindakan Sosial
a. Rasionalitas Instrumental (Zweckrationalitat)
Weber menjelaskan : tindakan diarahkan seecara rasional ke suatu system dari tujuan-tujuan individu yang memiliki sifat-sifatnya sendiri (zweckrational) apabila tujuan itu, alat dan akibat-akibat sekundernya diperhitungkan dan dipertimbangkan semuanya secara rasional. Hal ini mencakup pertimbangan rasional atas alat alternative untuk mencapai tujuan itu dengan hhasil-hasil yang mungkin dari penggunaan alat tertentu apa saja, dan akhirnya pertimbangan mengenai pentingnya tujuan-tujuan yang mungkin berbeda secara relative.
b. Rasionalitas yang Berorientasi Nilai
sifat rasionalitas yang berorientasi nilai yang penting adalah bahwa alat-alat hanya merrupakan obyek pertimbangan dan perhitungan yang sadar, tujuan-tujuannya sidah ada dalam hubungannya dengan nilai-nilai individu yang bersifat absolute atau merupakan nilai akhir baginya. Nilai-nilai akhir bersifat nonrasional dalam hal dimana seseorang tidak dapat memperhitungkan seccara obyektif mengenai tujuan-tujuan mana yang haurus di pilih.
c. Tindakan Tradisional
Tindakan Tradisional merupakan tipe tindakan sosial yang bersifat nonrasional. Jika seorang individu memperlihatkan perilaku kerena kebiasaan, tanpa refleksiyang sadar atau perencanaan, perilaku seperti ini digolongkan sebagai tindakan tradisional.
d. Tindakan Afektif
Tipe tindakan ini ditandai oleh dominasi perasaan atau emosi tanpa refleksi intelektual atau perencanaan yang sadar. Seseorang yang sedang mengalami perasaan meluap-luap seperti cinta, kemarahan, ketakutan, atau kegembiraan, dan secara spontan mengungkapkan perasaan itu tanpa refleksi, berarti sedang memperlihatkan tindakan afektif.