Implikasi Perkembangan Dunia Cyber
Hadirnya masyarakat informasi (information society) yang diyakini sebagai salah satu
agenda penting masyarakat dunia di milenium ketiga antara lain ditandai dengan
pemanfaatan Internet yang semakin meluas dalam berbagai akiivitas kehidupan manusia,
bukan saja di negara-negara maju tapi juga di negara-negara berkembang termasuk
Indonesia. Fenomena ini pada gilirannya telah menempatkan ”informasi” sebagai
komoditas ekonomi yang sangat penting dan menguntungkan. Untuk merespon
perkembangan ini Amerika Serikat sebagai pioner dalam pemanfaatan Internet telah
mengubah paradigma ekonominya dari ekonomi yang berbasis manufaktur menjadi
ekonomi yang berbasis jasa (from a manufacturing-based economy to a service-based
economy)
Peruhahan ini ditandai dengan berkurangnya peranan traditional law materials dan
semakin meningkatnya peranan the raw marerial of a service-based economy yakni
informasi dalam perekonomian Amerika.
Munculnya sejumlah kasus yang cukup fenomenal di Amerika Serikat pada tahun 1998
telah mendorong para pengamat dan pakar di bidang teknologi inlormasi untuk
menobatkan tahun tersebut sebagai moment yang mengukuhkan Internet sebagai salah
satu institusi dalam mainstream budaya Ametika saat ini. Salah satu kasus yang sangat
fenomenal dan kontroversial adalah ”Monicagate” (September 1998) yaitu skandal
seksual yang melibatkan Presiden Bill Clinton dengari Monica Lewinsky mantan
pegawai Magang di Gedung Putih.
Masyarakat dunia geger, karena laporan Jaksa Independent Kenneth Star mengenai
perselingkuhan Clinton dan Monica setebal 500 halaman kemudian muncul di Internet
dan dapat diakses secara terbuka oleh publik. Kasus ini bukan saja telah menyadarkan
masyarakat Amerika, tapi juga dunia bahwa lnternet dalam tahap tertentu tidak ubahnya
bagai pedang bermata dua.
Eksistensi Internet sebagai salah satu institusi dalam mainstream budaya Amerika lebih
ditegaskan lagi dengan maraknya perdagangan electronik (E-Commerce) yang
diprediksikan sebagai ”bisnis besar masa depan” (the next big thing). Menurut perkiraan
Departemen Perdagangan Amerika, nilai perdagangan sektor ini sampai dengan tahun
2002 akan mencapai jumlah US $300 milyar per tahun.
Demam E-Commerce ini bukan saja telah melanda negara-negara maju seperti Amerika
dan negara-negara Eropa, tapi juga telah menjadi trend dunia termasuk Indonesia.
Bahkan ada semacam kecenderungan umum di Indonesia, seakan-akan ”cyber law” itu
identik dengan pengaturan mengenai E-Commerce. Berbeda dengan Monicagate,
fenomena E-Commerce ini boleh dikatakan mampu menghadirkan sisi prospektif dari
Internet. Jelaslah bahwa eksistensi Internet disamping menjanjikan sejumlah harapan, pada saat yang sama juga melahirkan kecemasan-kecemasan baru antara lain munculnya kejahatan baru yang lebih canggih dalam bentuk ”cyber crime”, misalnya munculnya situs-situs porno dan penyerangan terhadap privacy seseorang. Disamping itu mengingat
karakteristik Internet yang tidak mengenal batas-batas teritorial dan sepenuhnya
beroperasi secara virtual (maya), Internet juga melahirkan aktivitas-aktivitas baru yang
tidak sepenuhnya dapat diatur oleh hukum yang berlaku saat ini (the existing law).
Kenyataan ini telah menyadarkan masyarakat akan perlunya regulasi yang mengatur
mengenai aktivitas-aktivitas yang melibatkan Internet. Atas dasar pemikiran diatas, penulis akan mencoba untuk membahas mengenai
pengertian ”cyber law” dan ruang lingkupnya serta sampai sejauh mana urgensinya bagi
Indonesia untuk mengantisipasi munculnya persoalan-persoalan hukum akibat
pemanfaatan Internet yang semakin meluas di Indonesia.
Cyberspace.
Untuk sampai pada pembahasan mengenai ”cyber law”, terlebih dahulu perlu dijelaskan
satu istilah yang sangat erat kaitannya dengan ”cyber law” yaitu ”cyberspace” (ruang
maya), karena ”cyberspace”-lah yang akan menjadi objek atau concern dari ”cyber law”.
Istilah ”cyberspace” untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh William Gibson seorang
penulis fiksi ilmiah (science fiction) dalam novelnya yang berjudul Neuromancer Istilah
yang sama kemudian diulanginya dalam novelnya yang lain yang berjudul Virtual Light.
Menurut Gibson, cyberspace ”... was a consensual hallucination that felt and looked like
a physical space but actually was a computer-generated construct representing abstract
data”. Pada perkembangan selanjutnya seiring dengan meluasnya penggunaan komputer
istilah ini kemudian dipergunakan untuk menunjuk sebuah ruang elektronik (electronic
space), yaitu sebuah masyarakat virtual yang terbentuk melalui komunikasi yang terjalin
dalam sebuah jaringan kornputer (interconnected computer networks).’ Pada saat ini,
cyberspace sebagaimana dikemukakan oleh Cavazos dan Morin adalah:”... represents a
vast array of computer systems accessible from remote physical locations”.
Aktivitas yang potensial untuk dilakukan di cyberspace tidak dapat diperkirakan secara
pasti mengingat kemajuan teknologi informasi yang sangat cepat dan mungkin sulit
diprediksi. Namun, saat ini ada beberapa aktivitas utama yang sudah dilakukan di
cyberspace seperti Commercial On-line Services, Bullelin Board System, Conferencing
Systems, Internet Relay Chat, Usenet, EmaiI list, dan entertainment. Sejumlah aktivitas
tersebut saat ini dengan mudah dapat dipahami oleh masyarakat kebanyakan sebagai
aktivitas yang dilakukan lewat Internet. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa apa
yang disebut dengan ”cyberspace” itu tidak lain. adalah Internet yang juga sering disebut
scbagai ”a network of net works”. Dengan karakteristik seperti ini kemudian ada juga
yang menyebut ”cyber space” dengan istilah ”virtual community” (masyarakat maya)
atau ”virtual world” (dunia maya).
Untuk keperluan penulisan artikel ini selanjutnya cyberspace akan disebut dengan
Internet. Dengan asumsi bahwa aktivitas di Internet itu tidak bisa dilepaskan dari manusia
dan akibat hukumnya juga mengenai masyarakat (manusia) yang ada di ”physical word”
(dunia nyata), maka kemudian muncul pemikiran mengenai perlunya aturan hukum untuk
mengatur aktivitas tersebut. Namun, mengingat karakteristik aktivitas di Internet yang
berbeda dengan di dunia nyata, lalu muncul pro kontra mengenai bisa dan tidaknya
sistem hukum tradisional/konvensional (the existing law) yang mengatur aktivitas
tersebut. Dengan demikian, polemik ini sebenarnya bukan mengenai perlu atau tidaknya
suatu aturan hukum mengenai aktivitas di Internet, melainkan mempertanyakan eksistensi
sistem hukum tradisional dalam mengatur aktivitas di Internet.
Pro-Kontra Regulasi Aktivitas di Internet
Secara umum munculnya pro-kontra bisa atau ticlaknya sistem hukum tradisional
mengatur mengenai aktivitas-aktivitas di Internet disebabkan karena dua hal yaitu; (1)
karakteristik aktivitas di Internet yang bersifat lintas-batas, sehingga tidak lagi tunduk
pada batasan-batasan teritorial, dan (2) sistem hukum traditional (the existing law) yang
justru bertumpu pada batasan-batasan teritorial dianggap tidak cukup memadai untuk
menjawab persoalan-persoalan hukum yang muncul akibat aktivitas di Internet. Prokontra
mengenai masalah ini sedikitnya terbagai menjadi tiga kelompok.
Kelompok pertama secara total menolak setiap usaha untuk membuat aturan hukum bagi
aktivitas-aktivitas di Internet yang didasarkan atas sistem hukum
tradisional/konvensional.
Istilah ”sistem hukum tradisional/konvensional” penulis gunakan untuk menunjuk kepada
sistem hukum yang berlaku saat ini yang belum mempertimbangkan pengaruh-pengaruh
dari pemanfaatan Internet.
Mereka beralasan bahwa Internet yang layaknya sebuah ”surga demokrasi” (democratic
paradise) yang menyajikan wahana bagi adanya lalu-lintas ide secara bebas dan terbuka
tidak boleh dihambat dengan aturan yang didasarkan atas sistem hukum tradisional yang
bertumpu pada batasan-batasan territorial. Dengan pendirian seperti ini, maka menurut
kelompok ini Internet harus diatur sepenuhnya oleh system hukum baru yang didasarkan
atas norma-norma hukum yang baru pula yang dianggap sesuai dengan karakteristik.yang
melekat pada Internet. Kelemahan utama dari kelompok ini adalah mereka menafikkan
fakta, bahwa meskipun aktivitas Internet itu sepenuhnya beroperasi secara virtual, namun
masih tetap melibatkan masyarakat (manusia) yang hidup di dunia nyata (physical
world).
Sebaliknya, kelompok kedua berpendapat bahwa penerapan sistem hukum tradisional
untuk mengatur aktivitas-aktivitas di Internet sangat mendesak untuk dilakukan. Tanpa
harus menunggu akhir dari suatu perdebatan akademis mengenai sistem hukum yang
paling pas untuk mengatur aktivitas di Internel. Pertimbangan pragmatis yang didasarkan
atas meluasnya dampak yang ditimbulkan oleh Internet memaksa pemerintah untuk
segera membentuk aturan hukum mengenai hal tersebut. Untuk itu semua yang paling
mungkin adalah dengan mengaplikasikan sistem hukum tradisional yang saat ini berlaku.
Kelemahan utama kelompok ini merupakan kebalikan dari kelompok pertama yaitu
mereka menafikkan fakta bahwa aktivitas-aktivitas di Internet menyajikan realitas dan
persoalan baru yang merupakan fenomena khas masyarakat informasi yang tidak
sepenuhnya dapat direspon oleh sistem hukum tradisional.
Kelompok ketiga tampaknya merupakan sintesis dari kedua kelompok di atas. Mereka
berpendapat bahwa aturan hukum yang akan mengatur tnengenai aktivitas di Internet
harus dibentuk secara evolutif dengan cara menerapkan prinsip-prinsip ”common law”
yang dilakukan secara hati-hati dan dengan menitikberatkan kepada aspek-aspek tertentu
dalam aktivitas ”cyberspace” yang menyebabkan kekhasan dalam transaksi- transaksi di
Internet. Kelompok ini memiliki pendirian yang cukup moderat dan realistis, karena
memang ada beberapa prinsip hukum tradisional yang masih dapat merespon persoalan
hukum yang timbul dari aktivitas Internet disamping juga fakta bahwa beberapa transaksi
di Internet tidak dapat sepenuhnya direspon oleh sistem hukum tradisional. Penulis
sendiri termasuk yang setuju dengan pendirian .kelompok ini, sehingga pemahaman
penulis mengenai ”cyber law” didasarkan atas satu konstruksi hukum yang
mensintesiskan prinsip-prinsip hukum tradisional dengan norma-norma hukum baru yang
terbentuk akibat dari aktivitas-aktivitas manusia lewat Internet.
Cyber Law
Secara akademis, terminologi ”cyber law” tampaknya belum menjadi terminologi yang
sepenuhnya dapat diterima. Hal ini terbukti dengan dipakainya terminologi lain untuk
tujuan yang sama seperti The law of the Inlernet, Law and the Information
Superhighway, Information Technology Law, The Law of Information, dan sebagainya.
Di Indonesia sendiri tampaknya belum ada satu istilah yang disepakati atau paling tidak
hanya sekedar terjemahan atas terminologi ”cyber law”. Sampai saat ini ada beberapa
istilah yang dimaksudkan sebagai terjemahan dari ”cyber law”, misalnya, Hukum Sistem
Informasi, Hukum Informasi, dan Hukum Telematika (Telekomunikasi dan Informatika).
Bagi penulis, istilah (Indonesia) manapun yang akan dipakai tidak menjadi persoalan.
Yang penting, di dalamnya memuat atau membicarakan mengenai aspek-aspek hukum
yang berkaitan dengan aktivitas manusia di Internet. Oleh karena itu dapat dipahami
apabila sampai saat ini di kalangan peminat dan pemerhati masalah hukum yang
berikaitan dengan Internet di Indonesia masih menggunakan istilah ”cyber law”.
Sebagaimana dikemukakan di atas, lahirnya pemikiran untuk membentuk satu aturan
hukum yang dapat merespon persoalan-persoalan hukum yang muncul akibat dari
pemanfaatan Internet terutama disebabkan oleh sistem hukum tradisi.onal yang tidak
sepenuhnya mampu merespon persoalan-persoalan tersebut dan karakteristik dari Internet
itu sendiri. Hal ini pada gilirannya akan melemahkan atau bahkan mengusangkan konsepkonsep
hukum yang sudah mapan seperti kedaulatan dan yurisdiksi. Kedua konsep ini
berada pada posisi yang dilematis ketika harus berhadapan dengan kenyataan bahwa para
pelaku yang terlibat dalam pemanfaatan Internet tidak lagi tunduk pada batasan
kewarganegaraan dan kedaulatan suatu negara. Dalam kaitan ini Aron Mefford seorang
pakar cyberlaw dari Michigan State University sampai pada kesimpulan bahwa dengan
meluasnya pemanfaatan Internet sebenarnya telah terjadi semacam ”paradigm shift”
dalam menentukan jati diri pelaku suatu perbuatan hukum dari citizens menjadi netizens.
Dilema yang dihadapi oleh hukum tradisional dalam menghadapi fenomena cyberspace
ini merupakan alasan utama perlunya membentuk satu regulasi yang cukup akomodatif
terhadap fenomena-fenomena baru yang muncul akibat pemanfaatan Internet. Aturan
hukum yang akan dibentuk itu harus diarahkan untuk memenuhi kebutuhan hukum (the
legal needs) para pihak yang terlibat dalam traksaksi-transaksi lewat Internet. Untuk itu
penulis cenderung menyetujui proposal dari Mefford yang mengusulkan ”Lex
Informatica” (Independent Net Law) sebagai ”Foundations of Law on the Internet".
Proposal Mefford ini tampaknya diilhami oleh pemikiran mengenai ”Lex Mercatoria”
yang merupakan satu sistem hukum yang dibentuk secara evolutif untuk merespon
kebutuhan-kebutuhan hukum (the legal needs) para pelaku transaksi dagang yang
mendapati kenyataan bahwa sistem hukum nasional tidak cukup memadai dalam
menjawab realitas-realitas yang ditemui dalam transaksi perdagangan internasional.
Secara demikian maka ”cyber law” dapat didefinisikan sebagai seperangkat aturan yang
berkaitan dengan persoalan-persoalan yang muncul akibat dari pemanfaatan Internet.
Ruang Lingkup ”Cyber Law”
Pembahasan mengenai ruang lingkup ”cyber law” dimaksudkan sebagai inventarisasi atas
persoalan-persoalan atau aspek-aspek hukum yang diperkirakan berkaitan dengan
pemanfaatan Internet. Secara garis besar ruang lingkup ”cyber law” ini berkaitan dengan
persoalan-persoalan atau ’ aspek hukum dari E-Commerce, Trademark/Domain Names,
Privacy and Security on the Internet, Copyright, Defamation, Content Regulation, Disptle
Settlement, dan sebagainya.
Berikut ini adalah ruang lingkup atau area yang harus dicover oleh cyberlaw. Ruang
lingkup cyberlaw ini akan terus berkembang seiring dengan perkembangan yang terjadi
pada pemanfaatan Internet dikemudian hari.
1. Electronic Commerce.
Pada awalnya electronic commerce (E-Commerce) bergerak dalam bidang retail seperti
perdagangan CD atau buku lewat situs dalam World Wide Web (www). Tapi saat ini ECommerce
sudah melangkah jauh menjangkau aktivitas-aktivitas di bidang perbankan
dan jasa asuransi yang meliputi antara lain ”account inquiries”, ”1oan transaction”, dan
sebagainya. Sampai saat ini belum ada pengertian yang tunggal mengenai E-Commerce.
Hal ini disebabkan karena hampir setiap saat muncul bentuk- bentuk baru dari ECommerce
dan tampaknya E-Commerce ini merupakan salah satu aktivitas cyberspace
yang berkembang sangat pesat dan agresif. Sebagai pegangan (sementara) kita lihat
definisi E-Commerce dari ECEG-Australia (Electronic Cornmerce Expert Group) sebagai
berikut: “Electronic commerce is a broad concept that covers any commercial transaction
that is effected via electronic means and would include such means as facsimile, telex,
EDI, Internet and the telephone”.
Secara singkat E-Commerce dapat dipahami sebagai transaksi perdagangan baik barang
maupun jasa lewat media elektronik. Dalam operasionalnya E-Commerce ini dapat
berbentuk B to B (Business to Business) atau B to C (Business to Consumers). Khusus
untuk yang terakhir (B to C), karena pada umumnya posisi konsumen tidak sekuat
perusahaan dan dapat menimbulkan beberapa persoalan yang menyebabkan para
konsumen agak hati-hati dalam melakukan transaksi lewat Internet.
Persoalan tersebut antara lain menyangkut masalah mekanisme pembayaran (payment
mechanism) dan jaminan keamanan dalam bertransaksi (security risk). Mekanisme
pembayaran dalam E-Commerce dapat dilakukan dengan cepat oleh konsumen dengan
menggunakan ”electronic payment”. Pada umumnya mekanisme pembayaran dalam ECommerce
menggunakan credit card. Karena sifat dari operasi Internet itu sendiri, ada
masalah apabila data credit card itu dikirimkan lewat server yang kurang terjamin
keamanannya.
Selain itu, credit card tidak ”acceptable” untuk semua jenis transaksi. Juga ada masalah
apabila melibatkan harga dalam bentuk mata uang asing.
Persoalan jaminan keamanan dalam E-Commerce pada umumnya menyangkut transfer
informasi seperti informasi mengenai data-data credit card dan data-data individual
konsumen. Dalam area ini ada dua masalah utama yang harus diantisipasi yaitu (1)
”identification integrity” yang menyangkut identitas si pengirim yang dikuatkan lewat
”digital signature”, dan (2) adalah ”message integrity” yang menyangkut apakah pesan
yang dikirimkan oleh si pengirim itu benar-benar diterima oleh si penerima yang
dikehendaki (intended recipient). Dalam kaitan ini pula para konsumen memiliki
kekhawatiran adanya ”identity theft”’atau ”misuse of information” dari data-data yang
diberikan pihak’ konsumen kepada perusahaan.
Persoalan-persoalan/Aspek-aspek hukum terkait.
a. Kontrak Persoalan mengenai kontrak dalam E-Commerce mengemuka karena dalam
transaksi ini kesepakatan antara kedua belah pihak dilakukan secara elektronik.
Akibatnya, prinsip-prinsip dalam hukum kontrak tradisional seperti waktu dan tempat
terjadinya suatu kontrak harus mengalami modifikasi. Sebagai contoh, the UNCITRAL
Model Law on Electronic Commerce dalam Pasal 15 memberikan panduan sebagai
berikut:
(1) Unless otherwise agreed between the originator and the addressee, the dispatch of a
data message occurs when it enters an information system outside the control of the
originator or of the person who sent the data message on behalf of the originator,
(2) Unless otherwise agreed between the originator and the addressee, the time of receipt
of a data message is determined as follows: (a) if the addressee has designated an
information system for the purpose of receiving data messages, receipt occurs: (i) at the
time when the data message enters the designated information system; or “originator”of
a data message means a person by whom, or on whose behalf; the data message purports
to have been sent or generated prior to storage, if any, but it does not include person
acting as an intermediary with respect to that data message” (Art.2c of the UNCITRAL
Model Law). ” addressee” of a data message means a person who is intended by the
originator to receive the data message, but does not include a person acting as an
intermediary with respect to that data message (Art.2d of the UNClTRAL Model Law).
(ii) if the data message is sent to an information system of the addressee that is.not the
designate information system, at the time when the data message is retrieved by the
addresse; (b) if the addressee has not designated an information system, receipt occurs
when the data message enters an information system of the addresse.
Selain masalah diatas masih banyak aspek-aspek hukum kontrak lainnya yang harus
dimodifikasi seperti kapan suatu kontrak E-Commerce dinyatakan berlaku mengingat
kontrak-kontrak dalam Internet itu didasarkan atas ”click and-point agreements”. Apakah
electronic contract itu dapat dipandang sebagai suatu kontrak tertulis? Bagaimana fungsi
dan kekuatan hukum suatu tanda tangan elektronik (Digital Signature), dan sebagainya.
b. Perlindungan konsumen
Masalah perlindungan konsumen dalam E-Commerce merupakan aspek yang cukup
penting untuk diperhatikan, karena beberapa karakteristik khas E-Commerce akan
menempatkan pihak konsumen pada posisi yang lemah atau bahkan dirugikan seperti;
Perusahaan di Internet (the Internet merchant) tidak memiliki alamat secara fisik di suatu
negara tertentu, sehingga hal ini akan menyulitkan konsumen untuk mengembalikan
produk yang tidak sesuai dengan pesanan;
Konsumen sulit memperoleh jaminan untuk mendapatkan ”local follow up service or
repair”;
Produk yang dibeli konsumen ada kemungkinan tidak sesuai atau tidak kompatibel
dengan persyaratan lokal (loca1 requirements);
Dengan karakteristik E-Commerce seperti ini konsumen akan menghadapi persoalan
hukum yang berkaitan dengan mekanisme pembayaran, kontrak, dan perlindungan
terhadap data-data individual konsumen yang diberikan kepada pihak perusahaan.
Undang-undang perlindungan konsumen masing-masing negara seperti yang dimiliki
Indonesia tidak akan cukup mer.ibantu, karena E-Commerce beroperasi secara lintas
batas (borderless).
Untuk panduan mengenai keabsahan digital signatures lihat UNCITRAL Model Law on
Electronic Commerce Pasal 7.
Dalam kaitan ini, perlindungan konsumen harus dilakukan dengan pendekatan
internasional melalui harmonisasi hukum dan kerjasama institusi-institusi penegak
hukum.
c. Pajak (Taxation)
Pengaturan pajak merupakan persoalan yang tidak mudah untuk diterapkan dalam ECommerce
yang beroperasi secara lintas batas. Masing-masing negara akan menemui
kesulitan untuk menerapkan ketentuan pajaknya, karena baik perusahaan maupun
konsumennya sulit dilacak secara fisik. Dalam masalah ini Amerika telah mengambil
sikap bahwa ”no discriminatory taxation against Internet Commerce”. Namun, dalam
urusan tarif (bea masuk) Amerika mempertahankan pendirian bahwa Internet harus
merupakan ”a tariff free zone”. Sedangkan Australia berpendirian bahwa ”the tariff-free
policy” itu tidak boleh diberlakukan untuk ”tangible products” yang dibayar secara online
tapi dikirimkan secara konvensional.
Kerumitan-kerumitan dalam masalah perpajakan ini menyebabkan prinsip-prinsip
perpajakan internasional seperti ”source of income”, ”residency”, dan ”place of
permanent establishment” harus ditinjau kembali. Sistem perpajakan nasional akan
menghadapi persoalan yang cukup serius dimasa depan apabila tidak diantisipasi mulai
dari sekarang. Namun, upaya yang dilakukan harus melalui satu pendekatan internasional
baik melalui harmonisasi hukum maupun kerjasama institusi penegak hukum.
d. Jurisdiksi (Jurisdiction)
Peluang yang diberikan oleh E-Commerce untuk terbukanya satu bentuk baru
perdagangan internasional pada saat yang sama melahirkan masalah baru dalam
penerapan konsep yurisdiksi yang telah mapan dalam sistern, hukum tradisional. Prinsipprinsip
yurisdiksi seperti tempat terjadinya transaksi (the place of transaction) dan hukum
kontrak (the law of contract) menjadi usang (obsolete) karena operasi Internet yang lintas
batas. Persoalan ini tidak bisa diatasi hanya dengan upaya-upaya di level nasional, tapi
harus melalui kerjasama dan pendekatan internasional
e. Digital Signature
Digital signature merupakan salah satu isu spesifik dalam E-Commerce. Digital signature
ini pada prinsipnya berkenaan dengan jaminan untuk ”message integrity” yang menjamin
bahwa si pengirim pesan (sender) itu benar-benar orang yang berhak dan bertanggung
jawab untuk itu (the sender is the person whom they purport to be). Hal ini berbeda
dengan ”real signature” yang berfungsi sebagai pangakuan dan penerimaan atas isi
pesan/dakumen, Persoalan hukum yang muncul seputar ini antara lain berkenaan dengan
fungsi dan kekuatan hukum digital signature. Di Amerika saat ini telah ditetapkan satu
undang-undang yang secara formal mengakui keabsahan digital signature. Pada level
internasional panduannya bisa dilihat dalam Pasal 7 UNCITRAL Model law.
e. Copy Right.
Internet dipandang sebagai media yang bersifat ”low-cost distribution channel” untuk
penyebaran informasi dan produk-produk entertainment seperti film, musik, dan buku.
Produk-produk tersebut saat ini didistribusikan lewat ”physical format” seperti video dan
compact disks. Hal ini memungkinkan untuk didownload secara mudah oleh konsumen.
Sampai saat ini belum ada perlindungan hak cipta yang cukup memadai untuk
menanggulangi masalah ini.
f. Dispute Settlement
Masalah hukum lain yang tidak kalah pentingnya adalah berkenaan dengan mekanisme
penyelesaian sengketa yang .cukup memadai untuk mengantisipasi sengketa yang
kemungkinan timbul dari transaksi elektronik ini. Sampai saat ini belum ada satu
mekanisme penyelesaian sengketa yang memadai baik di level nasional maupun
internasional. Sehingga yang paling mungkin dilakukan oleh para pihak yang bersengketa
saat ini adalah menyelesaikan sengketa tersebut secara konvensional.
Hal ini tentunya menimbulkan pertanyaan mengingat transaksi itu terjadi di dunia maya,
tapi mengapa penyelesaiannya di dunia nyata. Apakah tidak mungkin untuk dibuat satu
mekanisme penyelesaian sengketa yang juga bersifat virtual (On-line Dispute
Resolution).
2. Domain Name
Domain name dalam Internet secara sederhana dapat diumpamakan seperti nomor
telepon atau sebuah alamat. Contoh, domain name untuk Monash University Law School,
Australia adalah ”law.monash.edu.au”. Domain name dibaca dari kanan ke kiri yang
menunjukkan tingkat spesifikasinya, dari yang paling umum ke yang paling khusus.
Untuk contoh di atas, ”au” menunjuk kepada Australia sebagai geographical region,
sedangkan ”edu” artinya pendidikan (education) sebagai Top-level Domain name (TLD)
yang menjelaskan mengenai tujuan dari institusi tersebut. Elemen seIanjutnya adalah
”monash” yang merupakan ”the Second-Level Domain name” (SLD) yang dipilih oleh
pendaftar domain name, sedangkan elemen yang terakhir ”law” adalah ”subdomain” dari
monash Gabungan antara SLD dan TLD dengan berbagai pilihan subdomain disebut
”domain name”.
Domain names diberikan kepada organisasi, perusahaan atau individu oleh InterNIC (the
Internet Network Information Centre) berdasarkan kontrak dengan the National Science
Foundation (Amerika) melalui Network Solutions, Inc. (NSI). Untuk mendaftarkankan
sebuah domain name melalui NSI seseorang cukup membuka situs InterNIC dan mengisi
sejumlah form InterNIC akan melayani para pendaftar berdasarkan prinsip ”first come
first served”. InterNIC tidak akan memverifikasi mengenai ’hak’ pendaftar untuk
memilih satu nama tertentu, tapi pendaftar harus menyetujui ketentuan-ketentuan yang
tercantum dalam ”NSI’s domain name dispute resolution policy”. Berdasarkan ketentuan
tersebut, NSI akan menangguhkan pemakaian sebuah domain name yang diklaim oleh
salah satu pihak sebagai telah memakai merk dagang yang sudah terkenal.