Pembelajaran BIPA model tutorial pada dasarnya merupakan pembelajaran BIPA yang memiliki karakteristik tersendiri. Namun, bagaimanapun spesifikasinya perwujudan pembelajaran tersebut juga tidak dapat lepas dari hal-hal esensial yang selayaknya ada dalam pembelajaran BIPA pada umumnya. Hal esensial yang dimaksud antara lain menyangkut komponen, prinsip, dan kaidah mendasar pembelajaran BIPA. Karena itu, untuk kepentingan pembahasan pembelajaran BIPA model tutorial sangat diperlukan pemahaman yang cukup tentang hal esensial tersebut. Lebih lanjut, pemahaman ini dapat dimanfaatkan untuk melihat dan mendudukkan secara tepat perspektif model tutorial tersebut dari berbagai segi, terutama dari segi kelayakan penerapannya.
Pembelajaran BIPA dapat disikapi sebagai sebuah sistem yang terdiri atas sejumlah komponen pendukung, yaitu komponen instruksional dan non-instruksional. Hubungan dan interaksi fungsional antarkomponen tersebut akan menciptakan proses belajar mengajar dan hasil belajar (Winkel, 1987; Richards dan Rodger, 1986). Dalam pembelajaran BIPA keberadaan dan peran pembelajar merupakan komponen yang menonjol. Dapat dikatakan, komponen pembelajar ini pulalah yang membedakan secara signifikan antara pembelajaran BIPA dengan pembelajaran bahasa Indonesia yang lain. Sosok pembelajar BIPA sebagai penutur asing bahasa Indonesia memiliki karakteristik tertentu, terutama tampak pada (1) ciri personal, (2) latar belakang asal, (3) bidang, (4) pengetahuan/kemampuan, (5) minat, (6) tujuan belajar, (7) strategi belajar, dan (8) waktu belajar. Keberadaan dan kondisi pembelajar tersebut akan berimplikasi pada peranan serta hubungannya dengan komponen instruksional lain dalam perwujudan pembelajaran BIPA. Lebih lanjut, karakteristik pembelajar juga menjadi bahan yang harus dipertimbangkan sebagai variabel yang berpengaruh dan ikut menentukan dalam pembelajaran BIPA (Stern 1987).
Pembelajaran BIPA memiliki target tertentu, yaitu membentuk pembelajar berkemampuan berbahasa secara wajar. Dalam pengertian yang lebih luas, kewajaran ini terkait dengan hal-hal lain, termasuk di dalamnya budaya yang senantiasa melekat dalam substansi bahasa (Rivers, 1981). Karena itu di samping persoalan karakteristik personal pembelajar, persoalan budaya juga ikut terlibat dalam penciptaan pembelajaran BIPA (Stern, 1987; Surajaya, 1996). Terlebih lagi, jika pembelajaran BIPA diselenggarakan di Indonesia, maka pertimbangan dari segi sosiokultural menjadi semakin penting. Dikatakan demikian, karena pertimbangan tersebut sekaligus akan menjadi wahana dan kebutuhan pembelajar dalam berkomunikasi secara langsung dan faktual.
Pembelajaran BIPA sebagai sebuah program, tentu memiliki pijakan yang jelas sebagaimana tampak pada prinsip dasar pembelajaran pada umumnya. Demikian pula, sebagai bentuk pembelajaran bahasa sudah semestinya juga mendasarkan pada kaidah konseptual pembelajaran bahasa asing yang menjadi landasan pendekatannya. Kaidah konseptual yang dimaksud terutama bersumber pada teori bahasa dan teori pembelajaran bahasa (Spolsky, 1980; Stern, 1987). Secara aspektual, spesifikasi pembelajaran BIPA antara lain tampak pada (1) tujuan pembelajaran, (2) sasaran pembelajaran, (3) tatanan materi, (4) pemilihan metode, (5) pemanfaatan sumber/media, (6) kegiatan pembelajaran, (7) evaluasi pembelajaran, dan (8) problematik pembelajarannya. Mengingat perwujudan aspek-aspek pembelajaran tersebut merupakan hal yang cukup kompleks, maka diperlukan landasan konseptual pembelajaran BIPA yang jelas. Tanpa kejelasan acuan sangat dimungkinkan arah pembelajaran BIPA menjadi bias dan berpengaruh negatif pada produktivitasnya.
Gambaran tentang pembelajaran BIPA sebagaimana dikemukakan di atas, menunjukkan bahwa pembelajaran BIPA merupakan perihal yang kompleks. Kekomplekannya tidak hanya tampak pada komponen instruksionalnya saja, melainkan juga pada keterkaitannya dengan faktor lain dalam perwujudan pembelajaran BIPA. Untuk mewujudkan pembelajaran BIPA yang memadai tentunya perlu mempertimbangkan hal-hal tersebut secara seksama dan menyeluruh. Ditinjau dari segi pola organisasi dan pengelolaan, pembelajaran BIPA hendaknya (1) mampu menumbuhkembangkan motivasi belajar, serta (2) mampu memberikan kemudahan bagi pembelajar dalam menguasai bahasa Indonesia secara wajar. Sasaran tersebut harus dipetakan dan diwujudkan dalam sebuah bentuk atau model pembelajaran BIPA yang spesifik dan jelas.
Dilihat dari segi kegiatannya pada dasarnya pembelajaran BIPA merupakan suatu proses pemolaan perilaku belajar yang mengarah pada pembangkitan dan pengkondisian motivasi pembelajar dalam berbahasa Indonesia. Hal esensial yang perlu mendapatkan prioritas dan perhatian khusus adalah bagaimana mengembangkan pembelajaran sedemikian rupa, sehingga dapat mengkondisikan dan memberikan kemudahan kepada pembelajar untuk mau dan mampu berbahasa Indonesia secara wajar (Richards dan Nunan, 1990).
Upaya tersebut memerlukan suatu sistem pengelolaan pembelajaran secara khusus, terutama dengan memperhatikan mekanisme belajar yang efektif, accommodative, kondusif, dan berorientasi pada kebutuhan/kepentingan pembelajar. Artinya, perencanaan dan proses pembelajaran hendaknya dikembangkan secara sistematis, seksama, serta dijangkaukan untuk menumbuhkembangkan motivasi dan kesadaran pembelajar pada target pembelajaran yang jelas. Di samping itu, bertitik tolak pada keberadaan bahasa sebagai subsistem perilaku, kiranya perlu pula dikembangkan pola pembelajaran yang dapat menciptakan mood belajar ke arah pembiasaan berbahasa Indonesia dalam bentuk pengalaman faktual. Dalam penguasaan bahasa asing, pengalaman faktual memiliki peranan amat penting, terutama dalam perwujudan input dan pencapaian output (Krashen, 1985; Baradja, 1990; Cook, 1994).