Pembelajaran bahasa Indonesia bagi penutur asing memang bukan sesuatu yang baru. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya program pembelajaran BIPA, baik yang diselenggarakan di Indonesia maupun di negara lain. Namun, perlu disadari, bahwa secara objektif, pembelajaran BIPA di Indonesia berbeda dengan di negara lain, perbedaan ini terutama tampak pada aspek instrumental eksternal. Beberapa aspek instrumental eksternal yang dimaksud, antara lain adalah (1) banyaknya ragam bahasa Indonesia, (2) beragamnya penutur bahasa Indonesia, baik dilihat dari matra etnografis, geografis, maupun sosial, dan (3) kondisi bahasa Indonesia yang masih dalam proses pertumbuhan dan perkembangan (Subyakto, 1988; Alwasilah, 1996, Moeliono, 1998).
Dalam beberapa hal, kondisi bahasa Indonesia sebagaimana dikemukakan di atas dapat dianggap dan dimanfaatkan bagi kepentingan pengayaan wawasan pembelajar. Namun, jika kondisi tersebut tidak dipertimbangkan dan diantisipasi secara seksama, maka akan menjadi hambatan yang amat berarti bagi pembelajar dalam mempelajari bahasa Indonesia.
Selaras dengan keterangan tersebut, pembelajaran BIPA yang diselenggarakan di Indonesia memiliki spesifikasi yang tampak pada aspek instrumental eksternal. Aspek inilah yang mewarnai iklim berbahasa masyarakat Indonesia, dan aspek ini juga perlu diperhitungkan sebagai variabel dalam pembelajaran BIPA. Pembelajar Asing yang sedang belajar bahasa Indonesia mau tidak mau harus menghadapi fakta lingkungan berbahasa yang demikian beragam. Kekhususannya yang terkait dengan ragam daerah (dialek), sosiolek, dan situasi tuturan seperti alih kode dan diglosia menjadi fakta yang tidak dapat dihindari dalam komunikasi faktual di masyarakat. Di samping itu, patut disadari, bahwa secara objektif pengalaman yang diterima dan atau diperoleh pembelajar di dalam kelas tidak seluruhnya dapat berkorespondensi secara langsung dengan fakta empiris bahasa yang terdapat di masyarakat. Bahkan, tidak jarang pembelajar asing menjumpai banyak fenomena penggunaan bahasa di masyarakat yang dirasakan berbeda dengan apa yang dipelajari di dalam kelas (Kartomihardjo, 1996). Fenomena ini pasti dijumpai oleh setiap pembelajar BIPA yang sering disikapi sebagai problematik tersendiri dalam pembelajaran BIPA.
Terhadap gambaran keadaan penggunaan bahasa Indonesia tersebut secara psikologis dapat mengakibatkan pembelajar asing menjadi bingung, frustrasi, bahkan merasa takut untuk menggunakan bahasa Indonesianya. Perasaan takut salah ini selanjutnya dapat memunculkan perasaan baru yang dapat mengganjal keseluruhan proses dan hasil pembelajaran BIPA, yaitu perasaan tidak akan bisa berbahasa Indonesia (Widodo. 1994). Mengingat keadaan lingkungan penggunaan bahasa Indonesia sebagaimana digambarkan, dan kondisi serta kualifikasi pembelajar asing, kiranya perlu dikembangkan bentuk atau model pembelajaran BIPA yang mampu mengakomodasikan variabel tersebut. Salah satu bentuk pembelajaran BIPA yang dimaksud adalah pembelajaran BIPA model tutorial.