Pasal 11 UUD 1945 tidak mengaturhubungan antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional, namunmengaturkewenangan konstitusional Presiden untuk membuat Perjanjian internasional dalam sistem UUD 1945. Presiden menurut UUD 1945 yang berdasar sistem Presidensiil adalah kepala pemerintahan dan berwenang untuk mewakiliPemerintah Indonesia dalam hubungan luarnegeri dalam hal ini membuat PerjanjianInternasional, dengan demikian Pasal 11 adalahmateri internal konstitusi Indonesia. Dalamkaitannya dengan aspek Hukum Internasionalketentuan Pasal 11 dapat menimbulkan akibatke luar yaitu dalam konteks hubungan antaraPemerintah Indonesia dengan Negara lain yangmengadakan perjanjian dengan Indonesia.
Apabila secara internal Presiden telahmelakukan sesuatu perbuatan sesuai denganketentuan Pasal 11 maka perbuatan tersebutadalah perbuatan yang sah secara konstitusionaldan oleh karenanya mempunyai akibat hukum.Karena merupakan perbuatan yang sah berartimengikat secara sah pula baik terhadap lembaga Negara lain termasuk subyek hukumyang terkait dengan isi perjanjian tersebut.Sedangkan dari aspek internasional sesuaidengan prinsip hukum yang universal bahwaapa yang dilakukan oleh wakil yang sah darisebuah Negara akan mengikat seluruh elemenyang diwakilinya baik lembaga Negaramaupun warganya, ketentuan ini tidak diaturdalam UUD tetapi menjadi suatu prinsip yanguniversal.
Pasal 11 menetapkan syarat yang harusdipenuhi apabila Presiden menggunakanhaknya untuk melakukan hubungan denganNegara lain dalam hal ini membuat suatu perjanjian yaitu adanya persetujuan DPR.Pembuat UUD mempunyai dasar rasionalitastersendiri dan merupakan hak pembuat UUDuntuk menentukan syarat tersebut. Disampingmembuat perdamaian dan membuat perjanjian dengan Negara lain sebagaimana dinyatakan dalam ayat (1) juga disyaratkan perlunya persetujuan DPR apabila Presiden membuat”Perjanjian Internasional lainnya” yang: (1)menimbulkan akibat yang luas dan mendasarbagi kehidupan rakyat yang terkait denganbeban keuangan Negara, (2) mengharuskanperubahan atau pembentukan Undang-Undang.Secara internal syarat persetujuan DPR tidaklah terkait dengan pembedaan antaraPerjanjian Internasional publik dan kontrakbisnis internasional yang dilakukan Negarasebagai subyek Hukum Perdata. UUD mempertimbangkan bahwa apabila Presiden membuat Perjanjian Internasional lain (demikian UUD menyebutnya) yang menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat terkait dengan beban Negaraharus dengan persetujuan DPR. Pasal 11 ayat (2) menggunakan istilah
Perjanjian Internasional lainnya, yang maksudnya di luaryang disebut oleh Pasal 11 ayat (1) yaitu perjanjian perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain. Dengan demikian ada keperluanuntuk menetapkan apa yang dimaksud denganPerjanjian Internasional lainnya. Pengertian “yang lain” tentunya yang bukan perjanjian perdamaian, dan bukan perjanjian dengan Negara lain. Dengan demikian termasuk dalampengertian Perjanjian Internasional lainnya yaitu perjanjian yang dibuat dengan SubyekHukum Internasional lain selain Negara.Namun demikian disyaratkan bahwa perjanjian dengan Subyek Hukum Internasional lain yang memerlukan persetujuan DPD adalah perjanjian yang “menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan Negara”. Perlu digaris bawahi bahwa alasan mengapa perlu persetujuan DPR adalah alasan internal dan bukan didasarkan alasan eksternal apalagidiukur dengan praktik Hukum Internasional. Sebagai salah satu unsur perwakilan rakyat, DPR diperlukan persetujuannya untukmembuat perjanjian yang disebutkan dalamPasal 11 ayat (2) UUD, adalah murnipertimbangan pembuat konstitusi yang didasaripemikiran perlunya legitimasi yang lebih luas terhadap perjanjian yang demikian karena menyangkut kepentingan bangsa.
Sementara itu ada pandangan bahwaperjanjian dengan Organisasi Internasionalyang menyangkut pinjaman tidaklah perlupersetujuan DPR dengan alasan karenapihaknya bukan Negara dan karena bersifatperdata. Alasan demikian tidaklah tepat, karenadasar pertimbangan konstitusinya bukanlahsiapa pihak atau mengenai hal apa materi suatuPerjanjian Internasional tersebut, tetapi karenaperjanjian yang demikian menyangkut bebanyang mungkin ditimbulkan dari perjanjiantersebut yaitu menjadi beban bangsa. Demikianjuga tidak menjadi relevan pertimbanganinstitusi apa yang akan mempunyai wewenanguntuk memutus perselisihan andai saja dikemudian har timbul perselisihan antara Negara Indonesia dengan pihak lain, apakahakan menjadi kewenangan International Court of Justice ataukah akan menjadi kewenangan lembaga internasioal lain karena perselisihanyang terjadi bukan perselisihan antar negarasehingga bukan menjadi bagian Hukum Publik Internasional.
Pertimbangan konstitusionalitasnya karena isi putusan lembaga tersebut akan mempunyai dampak langsung kepada Negara dan bangsa,baik berdampak dalam hukum publik maupun berdampak perdata. Kewajiban untuk membayar hutang atau denda sebagai hukumanyang dibebankan kepada Negara selaku badanhukum perdata tetap mempunyai dampak padakehidupan Negara atau Bangsa karena mengurangi kemampuan finansial Negara dalam menyelenggarakan tugas-tugasnya.
Perbedaan perwakilan diplomatik dan perwakilan konsuler
PERWAKILAN KONSULER
Perwakilan konsuler adalah perwakilan dalam arti non politik dan biasanya meliputi bidang ekonomi perdagangan yang mempunyai wilayah kerja tertentu dalam wilayah negara penerima
PERWAKILAN DIPLOMATIK
Perwakilan diplomatik adalah perwakilan dalam arti politik yang kegiatannya meliputi semua kepentingan negara Indonesia dan wilayah kerjanya meliputi seluruh wilayah negara penerima dan bidang kegiatannya melingkupi suatu organisasi internasional.