Pada bagian ini akan dibahas tentang hak dan kewajiban para pihak secara umum, pembahasan tentang hal ini dirasakan sangat penting karena kenyataan menunjukkan, bahwa akibat adanya ketidakpahaman mengenai hak dan kewajiban, menyebabkan adanya kecenderungan untuk mengabaikan hak-hak pasien sehingga perlindungan hukum pasien semakin pudar. Selain itu dalam praktik zaherÃ-hari banyak falta menunjukkan, bahwa swcara umum ada anggapan dimana kedudukan pasien lebih rendah dari kedudukan dokter, sehingga dokter dianggap dapat mengambil keputusan sendiri terhadap pasien mengenai tindakan apa yang dilakukannya,. Sebenarnya jika dilihat dari sudut perjanjian terapeutik pendapat seperti ini, merupakan pendapat yang keliru karena dengan adanya perjanjian terapeutik tersebut kedudukan antara dokter dengan pasien adalah sama dan sederajat.
Dalam pandangan hukum, pasien adalah subjek hukum mandiri yang dianggap dapat mengambil keputusan untuk kepentingan dirinya. Oleh karena itu adalah suatu hal yang keliru apabila menganggap pasien selali tidak dapat mengambil keputusan karena ia sedang sakit. Dalam pergaulan hidup normal sehari-hari, biasanya pengungkapan keinginan atau kehendak dianggap sebagai titik tolak untuk mengambil keputusan. Dengan demikian walaupun seorang pasien sedang sakit, kedudukan hukumnya tetap sama seperti orang sehat. Jadi, secara hukum pasien juga berhak mengambil keputusan terhadap pelayanan kesehatan yang akan dilakukan terhadapnya, karena hal ini berhubungan erat dengan hak asasinya sebagai manusia. Kecuali apabila dapat dibuktikan bahwa keadaan mentalnya tidak mendukung untuk mrngambil keputusan yang diperlukan.
Dalam hubungannya dengan hak asasi manusia, persoalan mengenai kesehatan ini dinegara kita diatur dalam UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, dimana dalam Bab III Pasal 1 Ayat (1) dan Pasal 4 menyebutkan: Pasal 1 (1): “Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi.” Selanjutnya dalam Pasal 4 dinyatakan: “Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang optimal.”
Sehubungan dengan hak atas kesehatan tersebut yang harus dimiliki oleh setiap orang, negara memberi jaminan untuk mewujudkannya. Jaminan ini antara lain diatur dalam Bab IV mulai dari Pasal 6 sampai Pasal 9 UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan pada bagian tugas dan tanggung jawab pemerintah.
Hak atas pelayanan kesehatan memerlukan penanganan yang sungguh-sungguh, hal ini diakui secara internasional sebagaimana diatur dalam The Universal Declaration of Human Rights tahun 1948. beberapa pasal yang berkaitan dengan hak atas pelayanan kesehatan dan hak atas diri sendiri antara lain dimuat dalam Article 3 yang berbunyi: Everyone has the right to life, liberty and the security of person. Selanjutnya dalam Article 5 disebutkan: No one shall be subjected to torture or to cruel, inhuman or degrading treatment…. Ketentuan lainnya dimuat dalam Article 7 dan 10. ketentuan Article 7 menyebutkan: No one shall be subjected to torture or to cruel, inhuman degrading treatment… In particular, no one shall be subjected without his free consent to medical or scientific experimentation. Dan ketentuan Article 10 mengatur tentang: All persons deprived of their liberty shall be treated with humanity and with respect for the inherent dignity of the human person.
Dalam hubungannya dengan hak asasi manusia, apa yang terjadi dan berkembang di Negara-negara Eropa dan Amerika Serikat, menunjukkan suatu hal yang sangat menggembirakan. Di Negara tersebut hak-hak pasien berkembang dengan baik. Perkembangan ini terutama karena adanya tekanan pada rumah sakit yang dilakukan oleh Patien’s Bill of Right, sehungga hak-hak pasien diakui oleh pengadilan. Hak tersebut antara lain, hak untuk menolak cara perawatan tertentu; sebagaimana dikatakan oleh Werthmann (1984:184): “it is a principle of the common law that every being edult years and sound mind has to determina what shall be done with his own body. In the confext of medicalcare, this means it is the patient, not the physician, who has the final legal right to makertreatment decisions. Thus, the physician may act only within the fair limits of the patien’s consent. A vilation of the patien’s right of self-determination may give rise to a common law action against the physician for battery or lack of informed consent.”
Berbicara mengenai hak-hak pasien dalam pelayanan kesehatan, secara umum hak pasien tersebut dapat dirinci sebagai berikut.
1. Hak pasien atas perawatan
2. Hak untuk menolak cara perawatan tertentu
3. Hak untuk memilih tenaga kesehatan dan rumah sakit yang akan merawat pasien.
4. Hak atas informasi.
5. Hak untuk menolak perawatan tanpa izin.
6. Hak atas rasa aman.
7. Hak atas pembatasan terhadap pengaturan kebebasan perawatan.
8. Hak untuk mengakhiri perjanjian perawatan.
9. Hak atas twenty-for-a-day-visitor-rights
10. Hak pasien menggugat atau menuntut.
11. Hak pasien mengenai bantuan hokum.
12. Hak pasien untuk menasihatkan mengenai percobaan oleh tenaga kesehatan atau ahlinya.
Khusus mengenai hak informasi dalam pelayanan kesehatan sebagaimana dikatakan oleh Bailey (1972:278) bahwa: In a true life threatening emergency there is no problem with the obtaining of an informed consent. In the absence of a valid consent from a sane and sober adult patient, or from the parent or committee of a minor of incompetent person, consent is implied and the physician has a positive duty to proceed with any reasonable effort to savage life or limb.
Berbarengan dengan hak tersebut pasien juga mempunyai kewajiban, baik kewajiban secara moral maupun secara yuridis. Secara moral pasien berkewajiban memelihara kesehatannya dan menjalankan aturan-aturan perawatan sesuai dengan nasihat dokter yang merawatnya. Beberapa kewajiban pasien yang harus dipenuhinya dalam pelayanan kesehatan adalah sebagai berikut.
1. Kewajiban memberikan informasi.
2. Kewajiban melaksanakan nasihat dokter atau tenaga kesehatan.
3. Kewajiban untuk berterus terang apabila timbul masalah dalam hubungannya dengan dokter atau tenaga kesehatan.
4. Kewajiban memberikan imbalan jasa.
5. Kewajiban memberikan ganti-rugi, apabila tindakannya merugikan dokter atau tenaga kesehatan.
Berdasarkan pada perjanjian terapeutik yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak, dokter juga mempunyai hak dan kewajiban sebagai pengemban profesi. Hak-hak dokter sebagai pengemban profesi dapat dirumuskan sebagai berikut.
1. Hak memperoleh informasi yang selengkap-lengkapnya dan sejujur-jujurnya dari pasien yang akan digunakannya bagi kepentingan diagnosis maupun terapeutik.
2. Hak atas imbalan jasa atau honorarium terhadap pelayanan yang diberikannya kepada pasien.
3. Hak atas itikad baik dari pasien atau keluarganya dalam melaksanakan transaksi terapeutik.
4. Hak membela diri terhadap tuntutan atau gugatan pasien atas pelayanan kesehatan yang diberikannya.
5. Hak untuk memperoleh persetujuan tindakan medik dari pasien atau keluarganya.
Disamping hak-hak tersebut, dokter juga mempunyai kewajiban yang harus dilaksanakan. Jika diperhatikan Kode Etik Kedokteran Indonesia yang tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan R.I. No. 34 Tahun 1983, didalamnya terkandung beberapa kewajiban yang harus dilaksanakan oleh dokter di Indonesia. Kewajiban-kewajiban tersebut meliputi:
1) Kewajiban umum;
2) Kewajiban terhadap penderita;
3) Kewajiban terhadap teman sejawatnya;
4) Kewajiban terhadap diri sendiri.
Berpedoman pada isi rumusan kode etik kedokteran tersebut, Hermien Hadiati Koeswadji mengatakan bahwa secara pokok kewajiban dokter dapat dirumuskan sebagai berikut.
1. Bahwa ia wajib merawat pasiennya dengan cara keilmuan yang ia miliki secara adekuat. Dokter dalam perjanjian tersebut tidak menjanjikan manghasilkan satu resultaat atau hasil tertentu, karena apa yang dilakukannya itu merupakan upaya atau usaha sejauh mungkin sesuai dengan ilmu yang dimilikinya. Karenanya bukan merupakan inspanningssverbintenis. Ini berarti bahwa dokter wajib berusaha dengan hati-hati dan kesungguhan (met zorg eh inspanning) menjalankan tugasnya. Perbedaan antara resultaatverbintenis dengan inspanningserbintenis ini yakni dalam hal terjadi suatu kesalahan.
2. Dokter wajib menjalankan tugasnya sendiri (dalam arti secara pribadi dan bukan dilakukan oleh orang lain) sesuai dengan yang telah diperjanjikan, kecuali apabila pasien menyetujui perlu adanya seseorang yang mewakilinya (karena dokter dalam lafal sumpahnya juga wajib menjaga kesehatannya sendiri).
3. Dokter wajib memberi informasi kepada pasiennya mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan penyakit atau penderitaannya. Kewajiban dikter ini dalam hal perjanjian perawatan (behandelingscontract) menyangkut dua hal yang ada kaitannya dengan kewajiban pasien.
Di samping itu ada beberapa perbuatan atau tindakan yang dilarang dilakukan oleh dokter, karena perbuatan tersebut dianggap bertentangan dengan etik kedokteran. Perbuatan atau tindakan yang dilarang tersebut adalah sebagai berikut.
1. Melakukan suatu perbuatan yang bersifat memuji diri sendiri.
2. Ikut serta dalam memberikan pertolongan kedokteran dalam segala bentuk, tanpa kebebasan profesi.
3. Menerima uang selain dari imbalan yang layak sesuai dengan jasanya, meskipun dengan sepengetahuan pasien atau keluarganya.
Dengan demikian jika diperhatikan isi kode etik kedokteran tersebut dapat disimpulkan bahwa: kode etik kedokteran mengandung tuntutan agar dokter menjalankan profesinya berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur. Apalagi sebagian besar dari masyarakat, terutama yang tinggal dipedesaan belum memiliki pengertian yang cukup tentang cara memelihara kesehatan. Oleh karena itu, upaya untuk memberikan bimbingan dan penerangan kepada masyarakat tentang kesehatan, merupakan salah satu tugas dokter yang tidak kalah pentingnya dari pekerjaan penyembuhan. Malahan tugas dokter tidak terbatas pada pekerjaan kuratif dan preventif saja, jabatan profesi dokter, lebih-lebih di pedesaan, sebetulnya meliputi semua bidang kegiatan masyarakat, artinya dokter harus ikut aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial dan kemanusiaan.
Atas dasar hal tersebut, jika motivasi seorang dokter dalam bekerja karena uang dan kedudukan, dokter tersebut dapat di golongkan dalam motivasi rendah. Jika dokter cenderung untuk bekerja sedikit dengan hasil banyak, dokter yang bersangkutan akan tergelincir untuk melanggar kode etik dan sumpahnya. Sebaliknya jika motivasinya berdasarkan pada keinginan untuk memenuhi prestasi, tanggung jawab dan tantangan dari tugas itu sendiri, akan mudah baginya untuk menghayati dan mangamalkan kode etik dan sumpahnya. Di samping itu dia senantiasa akan melakukan profesinya menurut ukuran yang tertinggi, serta meningkatkan keterampilannya sehingga kemampuan untuk melaksanakan tugasnya tidak perlu disangsikan lagi.