Seorang dokter dalam menjalankan tugasnya mempunyai alasan yang mulia, yaitu berusaha untuk menyehatkan tubuh pasien, atau setidak-tidaknya berbuat untuk mengurangi penderitaan pasien. Oleh karenanya dengan alasan yang demikian wajarlah apabila apa yang dilakukan oleh dokter itu layak untuk mendapatkan perlindungan hukum sampai batas-batas tertentu. Sampai batas mana perbuatan dokter itu dapat dilindungi oleh hukum, inilah yang menjadi permasalahan. Mengetahui batas tindakan yang diperbolehkan menurut hukum, merupakan hal yang sangat penting, baik bagi dokter itu sendiri maupun bagi pasien dan para aparat penegak hukum.
Jika seorang dokter tidak mengetahui tentang batas tindakan yang diperbolehkan oleh hukum dan menjalankan tugas perawatannya, sudah barang tentu dia akan ragu-ragu dalam melakukan tugas tersebut, terutama untuk memberikan diagnosis dan terapi terhadap penyakit yang diderita oleh pasien. Keraguan bertindak seperti itu tidak akan menghasilkan suatu penyelesaian yang baik, atau setidak-tidaknya tidak akan memperoleh penemuan baru dalam ilmu pengobatan atau pelayanan kesehatan. Bahkan bisa saja terjadi suatu tindakan yang dapat merugikan pasien. Demikian juga bagi aparat penegak hukum yang menerima pengaduan, sudah selayaknya mereka terlebih dahulu harus mempunyai pandangan atau pengetahuan yang cukup mengenai hukum kesehatan, agar dapat menentukan apakah perbuatannya itu melanggar etika atau melanggar hukum.
Disadari sepenuhnya bahwa pelayanan kesehatan yang diberikan oleh seorang dokter kepada pasien tidak selamanya berhasil dengan baik. Adakalanya usaha tersebut mengalami kegagalan. Faktor penyebab kegagalan ini banyak macamnya, mungkin karena kurangnya pehaman dokter yang bersangkutan terhadap penyakit yang diderita oleh pasien, atau karena minimnya peralatan yang digunakan untuk melakukan diagnosis dan terapi. Namun tidak jarang terjadinya kegagalan itu bersumber dari faktor manusianya sendiri, yakni karena adanya kesalahan daro dokter dalam mengadakan diagnosis dan terapi. Hal yang terakhir ini membuat masyarakat awam beranggapan bahwa dokter telah gagal atau dianggap gagal dalam melaksanakan tugas perawatannya.
Memang dalam kenyataannya, seorang dokter dapat saja salah atau khilaf atau lalai dalam menjalankan tugasnya. Akan tetapi karena profesi dokter merupakan jabatan yang khusus, maka terdapat pula persyaratan yang khusus untuk mempermasalahkan tindakan dokter. Persyaratan-persyaratan tersebut dapat ditinjau dari segi ilmu kesehatan atau dari segi hukum. Tentang mengapa harus dilakukan peninjauan dari sudut hukum, alasannya karena semenjak zaman dahulu hukum telah membebani seorang dokter dengan syarat-syarat yang cukup berat dalam menjalankan tugasnya, dengan demikian terlihat betapa eratnya kaitan hukum dengan profesi dokter dalam pelayanan kesehatan.
Pada dasawarsa terakhir ini, sering timbul reaksi defensif dari masyarakat terhadap perkembangan pelayanan kesehatan, reaksi itu dengan cepat membangkitkan kesadaran masyarakat tentang hak atas pelayanan kesehatan, persoalan ini menyebabkan aspek hukum antara dokter dengan pasien menjadi semakin penting. Perkembangan ini di satu pihak mengandung makna yang sangat positif karena memperlihatkan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap hukum pada umumnya, dilain pihak perkembangan tersebut merupakan tantangan bagi profesi dokter dalam upayanya memberikan pelayanan kesehatan terhadap pasien yang terikat dalam hubungan transaksi terapeutik.
Hubungan kepercayaan antara dokter dengan pasien yang tadinya sudah cukup diatur dengan kaidah-kaidah moral, yakni melalui etika profesi atau kode etik, kini dengan perkembangan yang terjadi, mulai dirasakan perlunya pengaturan dengan kaidah-kaidah yang lebih memaksa secara normatif. Kepatuhan terhadap aturan ini tidak lagi sepenuhnya digantungkan pada kesadaran dan kemauan bebas dari kedua belah pihak, oleh karena itu pengaturan tersebut harus dituangkan melalui kaidah-kaidah hukum yang bersifat memaksa
Pada hakikatnya, sikap yang demikian itu muncul karena adanya keinginan atau usaha untuk mempertahankan hak dengan perlindungan hukum. Aspek hukum itu dimunculkan untuk melindungi kepentingan terhadap pemberian pelayanan kesehatan yang dibutuhkannya. Dengan kata lain aspek hukum itu ditimbulkan oleh perkembangan yang pesat dalam ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan. Dengan demikian, jika pasien atau keluarganya merasa kepentingannya dirugikan oleh dokter, mereka akan menempuh satu-satunya jalan yang masih terbuka baginya, yaitu upaya gugatan hukum.
Mengingat hakikat hubungan antara dokter dengan pasien yang diikat dalam transaksi terapeutik sebagaimana diuraikan diatas. Apabila dipandang dari sudut hukum, hubungan itu pada umumnya termasuk perikatan ikhtiar, oleh karena itu kewajiban hukum atau prestasi yang harus diwujudkan oleh dokter, adalah ikhtiar semaksimal mungkin dalam batas keahliannya untuk menyembuhkan pasien. Sepanjang ikhtiar yang dilakukan oleh dokter itu didasarkan pada keahlian dan pengetahuan yang dimilikinya, tindakan yang dilakukan oleh dokter itu merupakan tindakan yang sah. Wanprestasi atau ingkar janji baru terjadi apabila dokter tidak melaksanakan prestasi sesuai dengan apa yang disepakati, sedangkan perbuatan melanggar hukum terjadi jika terapi yang dilakukan oleh dokter menyimpang dari patokan atau standar yang ditentukan.
Masalahnya sekarang, adalah sangat sulit untuk menentukan kapan suatu tindakan medis memenuhi patokan atau standar pelayanan kesehatan. Pengaturan hukum seperti yang tercantum dalam KUHPerdata masih bersifat terlalu umum. Untuk itu diperlukan adanya suatu pengaturan yang isinya mengatur hubungan antara pasien dengan dokter. Dalam kaitannya dengan hal ini Van der Mijn (1989 : 57) mengemukakan adanya sembilan alasan tentang perlunya pengaturan hukum yang mengatur hubungan antara pasien dengan dokter.
1. Adanya kebutuhan pada keahlian keilmuan medis.
2. Kualitas pelayanan kesehatan yang baik.
3. Hasil guna.
4. Pengendalian biaya.
5. Ketertiban masyarakat.
6. Perlindungan hukum pasien.
7. Perlindungan hukum pengemban profesi kesehatan.
8. Perlindungan hukum pihak ketiga, dan
9. Perlindungan hukum kepentingan hukum.
Dari apa yang dikemukakan oleh Van der Mijn diatas, dapat dilihat bahwa hubungan antara pasien dengan dokter mempunyai aspek etis dan aspek yuridis. Artinya hubungan itu diatur oleh kaidah hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Dengan demikian baik pasien maupun dokter mempunyai kewajiban dan tanggung jawab secara etis dan yuridis, sebagai konsekuensinya mereka juga bertanggung jawab dan bertanggung gugat secara hukum.
Dalam praktik, sehubungan dengan tanggung jawab atau tanggung gugat hukum ini, timbul masalah karena sulitnya menarik garis yang jelas untuk memisahkan antara etik dan yuridis dalam hubungan antara dokter dengan pasien, khususnya yang berkaitan dengan tindakan medis.
Kesulitan disini timbul karena etika merupakan suatu refleksi tentang perbuatan bertanggung jawab.
Dalam etika dilakukan renungan yang mendasar tentang kapan sesuatu itu dikatakan bertanggung jawab. Artinya pelaku harus mampu menjawab dan menjelaskan mengapa ia melakukan perbuatan atau tindakan tertentu. Disamping itu etika sangat dipengaruhi oleh pandangan agama, pandangan hidup, kebudayaan, dan kekayaan yang hidup ditengah masyarakat, sehingga sangat sulit untuk menilainya.
Etika terikat dan dipengaruhi oleh perubahan-perubahan yang berlangsung dalam ruang dan waktu. Hal ini jelas terlihat sebagaimana dimuat dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 99a/Menkes/SK/III/1982 tentang Sistem Kesehatan Nasional, untuk selanjutnya hal hal ini dipertegas lagi dalam Penjelasan Umum UUNo.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, yang menyatakan bahwa dalam banyak hal telah terjadi perubahan orientasi mengenai pemikiran dan pendekatan dalam pelayanan kesehatan. Itu sebabnya garis pemisah antara etika dan hukum tidak jelas, karena dari waktu ke waktu selalu bergerak mengikuti perkembangan dan perubahan-perubahan yang terjadi ditengah masyarakat, seperti yang dikatakan Koeswadji (1992 : 124): ”Norma etika umum masyarakat dengan norma etika kesehatan-kedokteran saling mempengaruhi,, atau dengan lain perkataan, nilai dan pandangan hidup yang dicerminkan oleh etika profesi kesehatan-kedokteran dalam suatu masyarakat tertentu berlaku untuk suatu waktu tertentu”.
Dari apa yang dikemukakan diatas, dapat diketahui bahwa etika profesi merupakan sikap etis sebagai bagian integral dari sikap hidup dalam mengemban profesi. Hanya pengemban profesi itu sendiri yang dapat atau paling mengetahui tentang apakah perilakunya dalam mengemban profesi sudah memenuhi tuntutan etika atau tidak. Ini berarti kepatuhan pada etika profesi sangat tergantung pada akhlak pengemban profesi yang bersangkutan. Disamping itu, sikap dan tata nilai profesional merupakan ciri dan pengakuan masyarakat terhadap eksistensi profesi dalam pembangunan tatanan kehidupan masyarakat, sehingga tata nilai profesi ini bersangkut-paut dan terikat erat dengan nilai humanisme atau kemanusiaan.
Hal ini terlihat pada salahsatu ciri dari profesi dokter yakni nilai kemanusiaan. Naluri seorang dokter akan terpanggil tidak hanya terbatas pada upayanya bagaimana ia dapat memberi pelayanan langsung terhadap penderita dalam membantu memecahkan masalah kesehatan, tetapi juga seorang dokter berupaya mengembangkan nilai-nilai profesionalismenya melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan untuk kepentingan kemanusiaan.