A. Standar Profesi Medis
Dalam hukum kesehatan diakui adanya otonomi profesi yang hanya berlaku bagi suatu anggota profesi dokter, adanya ketentuan yang bersifat otonom ini, karena profesi kedokteran memiliki komunitas tersendiri, sehingga menampilkan suatu sistem nilai yang memiliki sejumlah kaidah yang turut menggerakkan dan mengendalikan profesi kedokteran. Di samping itu juga dikenal adanya kontrol profesional yang berfungsi untuk mempertahankan dan menjunjung tinggi martabat profesi kedokteran.
Jadi, dari sekian banyak lingkungan masyarakat yang mengemban profesi seperti guru, jurnalis, advokat, hakim, jaksa, dan sebagainya. Profesi kedokteran merupakan profesi khusus yang berbeda dengan profesi lainnya. Kekhususan profesi kedokteran terletak pada sifat otonom dan ukuran mengenai kemampuan rata-rata dari pengemban profesi, ketelitian, ketekunan, kehati-hatian dan pengabdian yang tinggi.
Berbicara mengenai profesi, secara umum dikenal adanya beberapa ciri atau identitas tentang profesi yang membedakannya dengan kelompok masyarakat umum, adapun ciri-ciri profesi yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Memiliki kelompok disiplin ilmu yang khusus dan terorganisir.
2. Kegiatan profesi atau pelaksanaan fungsi profesi memerlukan profesi berpikir yang pada umumnya bersifat intelektual dan menunjukkan suatu proses penilaian.
3. Memerlukan pendidikan profesional untuk menjalankan profesi
4. Melayani kebutuhan masyarakat dan bukan kepentingan kelompok.
5. mengembangkan secara terus-menerus ilmu yang di bina dan dapat di uji kesahihannya serta digunakan dalam praktik untuk memberi pelayanan kepada masyarakat.
6. Memiliki identitas dan keyakinan kelompok yang di kenal oleh masyarakat.
7. Memiliki dan memberlakukan kode etik di lingkungan profesinya.
8. Menarik orang-orang dengan kecerdasan tinggi dan kepribadian baik, untuk memilih profesi ini sebagai pekerjaan dan atau pengabdian seumur hidup, bukan sekedar sebagai batu loncatan untuk memperoleh pekerjaan lain.
Sebenarnya etika profesi merupakan bagian dari etika masyarakat, dimana antara etika profesi dan etika masyarakat tidak boleh bertentangan. Jika terjadi pertentangan antara etika profesi dan etika masyarakat, maka etika masyarakatlah yang harus di utamakan. Dalam banyak hal antara etika profesi dengan etika masyarakat saling isi mengisi. Etika profesi dapat berubah dan di tentukan kembali oleh etika masyarakat yang berlaku pada suatu waktu tertentu, demikian pula sebaliknya perkembangan etika masyarakat mendapat pengaruh dari etika profesi.
Dasar atau landasan yang menjadi cikal bakal terbentuknya etika profesi di kalangan para pengemban profesi, adalah karena dalam kehidupan bermasyarakat terdapat hal-hal yang oleh hukum tidak perlu di atur dengan peraturan perundang-undangan. Pandangan dan pemikiran ini bertolak pada adagium yang ditemukan dalam ilmu hukum, dimana secara tersirat di gariskan bahwa hukum tidak mengatur hal-hal yang kecil (deminimis non curat lex). Jadi, masyarakat pengemban profesi dianggap untuk mengendalikan segala sesuatu yang terjadi di lingkungan mereka tanpa suatu gejolak peraturan intern yang sudah di sepakati bersama, sehingga pengaturan hukum tidak di perlukan untuk mengatur apa yang mereka sepakati tersebut.
Hal-hal kecil yang di maksud oleh hukum di sini, termasuk bagian-bagian tertentu dan spesifik yang melingkupi ruang gerak anggota profesi kedokteran dalam melakukan pelaynan kesehatan. Oleh karena itu dalam perjanjian terapeutik, selain harus memenuhi ketentuan perundang-undangan yang berlaku, juga harus mengindahkan kepatutan atau kebiasaan yang berlaku dalam bidang kesehatan. Jadi, apabila seorang dokter dianggap bertindak melakukan kesalahan atau kelalaian, penilaiannya tidak semata-mata didasarkan pada aspek hukum, tetapi juga harus di lihat dari aspek etika profesi.
Bagi kalangan pengemban profesi kedokteran, untuk melihat kemampuan dan atau keahlian profesionalnya, dapat di ukur daro segi keterampilan serta hak dan kewenangan mereka melakukan tugas profesi tersebut, sebab terjadinya suatu kesalahan atau kelalaian dalam melaksanakan atau menjalankan profesi, tidak jarang di sebabkan kurangnya pengetahuan, kurangnya pemahaman, dan pengalamannya. Sehubungan dengan itu untuk menilai ada tidaknya suatu kesalahan atau kelalaian dokter, digunakan standar yang berkaitan dengan aturan-aturan yang di temukan dalam profesi kedokteran dan yang berhubungan dengan fungsi sosial pelayanan kesehatan.
Pasal 53 Ayat (2) UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan menentukan bahwa dalam melakukan tugasnya, tenaga kesehatan berkewajiban mematuhi estándar profesi dan menghormati hak pasien. Dokter termasuk dalam kelompok tenaga kesehatan sebagaimana yang di tentukan dalam penjelasan ketentuan tersebut. Salah satu bentuk kegiatan dokter dalam melaksanakan profesinya adalah melakukan tindakan medis. Dalam pelaksanaan tugasnya melakukan perawatan atau tindakan medis harus mengikuti estándar profesi serta menghormati hak-hak pasien.
Standar profesi tersebut menurut penjelasan Pasal 53 Ayat (2) UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, berlaku sebagai pedoman yang harus di gunakan sebagai petunjuk dalam melaksanakan profesi secara baik dan benar. Apabila dokter melakukan kelalaian dalam melaksanakan profesinya dan akibat dari kelalaian itu menimbulkan kerugian bagi pasien atau keluarganya, pasien berhak untuk memperoleh ganti rugi sesuai dengan ketentuan Pasal 55 Ayat (2) UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
Pekerjaan profesi kedokteran di landasi oleh dua prinsip perilaku pokok, yaitu kesungguhan untuk berbuat demi kebaikan pasien, dan tidak ada niat untuk menyakiti, mencederai, dan merugikan pasien. Sebagai bagian dari rasa tanggung jawabnya dan sebagai manifestasi dari dua prinsip perilaku pokok diatas, dokter wajib menghargai hak pasien. Hak tersebut terdiri dari hak untuk dirawat, diobati, ditangani oleh dokter yang dalam mengambil keputusan profesional secara klinik dan etis dilakukan secara bebas. Hak lain yang wajib dihargai dari pasien, adalah hak untuk dilindungi rahasia pribadinya yang telah dipercayakannya lepada dokter.
Seorang dokter yang bertugas memberikan pelayanan kesehatan, sekalipun dia di satu pihak mempunyai otonomi profesi, Namur dilain pihak kemandirian dokter berdasarkan otonomi tersebut perlu dikendalikan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Salah saty dari peraturan tersebut adalah standar pelayanan medis.
Masalahnya Semarang, di Indonesia belum ada standar pelayanan medis yang berlaku secara nasional. Jika di tinjau dari sudut hukum kesehatan, Belem adanya estándar pelayanan medis yang berlaku secara nasional ini, akan merugikan tidak hanya bagi kalangan profesi kedokteran, tetapi juga bagi masyarakat secara keseluruhan. Kenyataan sehari-hari menunjukkan bahwa memang banyak terjadi perbedaan dalam penanganan penderita pada saat pemeriksaan, maupun perbedaan mengenai sarana atau peralatan yang digunakan, sehingga semua hal itu bisa menyebabkan terjadinya penyimpangan yang merugikan masyarakat. Dalam praktik sehari-hari sering terjadi tindakan atau perbuatan yang kurang terpuji dalam pelayanan kesehatan. Tindakan atau perbuatan yang kurang terpuji tersebut antara lain bisa dilihat dari tindakan dokter yang mengutamakan kepentingan bisnis daripada kepentingan kemanusiaan, misalnya, demi untuk mencari keuntungan secara ekonomis dokter melakukan diagnosa terhadap pasien dengan menggunakan peralatan laboratorium atau radiologi, padahal sesuai dengan tingkat penyakit yang di derita oleh pasien hal tersebut sebenarnya tidak perlu di lakukan.
Dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia, di tegaskan bahwa seorang dokter harus senantiasa mengingat kewajibannya melindungi hidup makhluk insani, mempergunakan segala ilmu dan keterampilannya untuk kepentingan penderita. Jika ia tidak mampu melakukan statu pemeriksaan atau pengobatan, ia wajib merujuk penderita lepada dokter lain yang mempunyai keahlian dalam menangani penyakit tersebut. Seorang dokter tidak dapat dianggap bertanggung jawab atas statu kegagalan untuk menyembuhkan pasien, CACAT atau meninggal, bilamana dokter telah melakukan segala upaya sesuai dengan keahlian dan kemampuan profesionalnya.
Bertolak dari hal tersebut diatas, dapat dibedakan antara apa yang dimaksud sebagai upaya yang baik dengan tindakan yang tidak bertanggung jawab, lalai atau ceroboh. Artinya apabila seorang dokter telah melakukan segala upaya, kemampuan, keahlian, dan pengalamannya untuk merawat pasien atau penderita, dokter tersebut dianggap telah berbuat upaya yang baik dan telah melakukan tugasnya sesuai dengan etik kedokteran. Sebaliknya, jika seorang dokter tidak memeriksa, tidak menilai, tidak berbuat atau tidak meninggalkan hal-hal yang seharusnya ditinggalkan oleh sesama dokter lain, pada umumnya di dalam situasi yang sama, dokter yang bersangkutan dapat dikatakan telah melanggar standar profesi kedokteran.
Menurut Koeswadji (1992 : 104), standar profesi adalah nilai atau itikad baik dokter yang didasari oleh etika profesinya, bertolak dari suatu tolak ukur yang disepakati bersama oleh kalangan pendukung profesi. Wewenang untuk menentukan hal-hal yang dapat dilakukan dean yang tidak dapat dilakukan dalam statu kegiatan profesi, merupakan tanggung jawab profesi itu sendiri.
Dalam rangka menunjang kemandirian dan pelaksanaan profesi kedokteran dalam pelayanan kesehatan, pemerintah menetapkan berlakunya estándar pelayanan medis di rumah sakit dan standar pelayanan rumah sakit. Estándar pelayanan medis tersebut merupakan tonggak utama dalam upaya peningkatan mutu pelayanan medis di Indonesia. Tujuan ditetapkannya estándar pelayanan medis ini adalah untuk melindungi masyarakat dari praktik-praktik yang tidak sesuai dengan standar profesi.
Di tinjau dari sudut hukum kesehatan, standar pelayanan medis ini mempunyai tujuan ganda. Di satu pihak bertujuan untuk melindungi masyarakat dari praktik-prsktik yang tidak sesuai dengan standar profesi kedokteran, sedang di lain pihak bertujuan melindungi anggota profesi dari tuntutan masyarakat yang tidak wajar. Di samping itu juga berfungsi sebagai pedoman dalam pengawasan praktik dokter, pembinaan serta peningkatan mutu pelayanan kesehatan yang efektif dan efisien.
Standar pelayanan medis ini merupakan hukm yang mengikat para pihak yang berprofesi di bidang kesehatan, yaitu untuk mengatur pelayanan kesehatan dan mencegah terjadinya kelalaian staff medis dalam melakukan tindakan medis. Dalam kaitannya dengan profesi dokter di perlukan estándar pelayanan medis yang mencakup: standar ketenangan, standar prosedur, standar sarana, dan standar hasil yang di harapkan. Selain itu standar pelayanan medis ini tidak saja untuk mengukur mutu pelayanan, tetapi juga berfungsi untuk kepentingan pembuktian di pengadilan apabila timbul sengketa.
Standar pelayanan medis terdiri dari dua bagian. Pertama, memuat tentang standar penyakit dengan duabelas spesialisasi kasus-kasus penting. Kedua, memuat tentang standar pelayanan penunjang dengan tiga spesialisasi yang masing-masingnya di rinci berdasarkan prosedur tindakan yang harus di tangani oleh spesialisasi yang bersangkutan. Bagian standar pelayanan medis yang pertama meliputi:
1) Bagian bedah;
2) Bagian bedah ortopedi;
3) Bagian jiwa;
4) Bagian kardiologi;
5) Bagian kulit dan kelamin;
6) Bagian obstetri dan ginekologi;
7) Bagian paru;
8) Bagian penyakit dalam;
9) Bagian penyakit anak;
10) Bagian saraf;
11) Bagian mata;
12) Bagian telinga, hidung, dan tenggorokan.
Sedangkan bagian standar pelayanan medis yang kedua meliputi;
1) Bagian anestesi;
2) Bagian patologi, anatomi, forensik, klinik;
3) Bagian radiologi.